5 Hal yang Perlu Diketahui tentang Terapi Plasma Konvalesen Pasien Covid-19

Selasa, 26 Januari 2021 18:25 WIB

Kantong berisi plasma konvalesen milik penyintas Covid-19 yang melakukan donor plasma konvalesen di PMI DKI Jakarta, Selasa, 19 Januari 2021. Sebanyak 307 penyintas Covid-19 per 1 hingga 15 Januari 2021 telah mendonorkan plasma konvalesen, hasil dari plasma konvalesen tersebut nantinya akan ditransfusikan ke tubuh pasien positif Covid-19 untuk membantu proses penyembuhan pasien tersebut. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

TEMPO.CO, Jakarta - Terapi plasma konvalesen semakin populer sebagai salah satu cara untuk menyembuhkan infeksi Covid-19. Bahkan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan bahwa masyarakat bisa berkontribusi terhadap peningkatan angka kesembuhan pasien Covid-19 dengan menjadi donor pada terapi plasma konvalesen.

Baca:
Plasma Konvalesen Ditetapkan Pengobatan Darurat Covid-19 di Amerika

Dengan menjadi pendonor, masyarakat turut berkontribusi menjunjung tinggi semangat gotong royong dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan penanganan pasien Covid-19, terutama pada kasus dengan gejala berat dan kritis.

“Indonesia sedang berusaha menyediakan bank donor plasma konvalesen untuk terapi pada pasien Covid-19 yang membutuhkan. Saya berharap sinergi yang baik antar lapisan masyarakat dalam penanganan Covid-19 dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa,” ujar dia, 5 Januari 2021 lalu.

Namun, apa yang dimaksud dengan terapi plasma konvalesen? Dokter dan dosen ilmu patologi klinik dari Univeritas Sebelas Maret Tonang Dwi Ardyanto menjelaskan beberapa poin mengenai terapi plasma konvalesen berikut ini.

1. Apakah terapi plasma konvalesen adalah terapi baru?

Advertising
Advertising

Menurut Tonang, terapi plasma konvalesen sudah dikenal sejak tahun 1850-an. Kemudian setiap kali ada kejadian luar biasa (KLB) atau wabah, terapi ini menjadi pilihan awal, terutama ketika belum didapatkan terapi yang definitif dan spesifik.

Penggunaannya sedikit menurun ketika mulai ditemukan obat sulfonamid dan penicillin di sekitar tahun 1935-1941. “Tapi ketika mulai ada lagi KLB dan wabah di tahun 2000-an, terapi plasma konvalesen kembali meningkat penggunaannya, termasuk dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Senin, 25 Januari 2021.

2. Apa prinsip dasar terapi plasma konvalesen?

Pada prinsipnya, Tonang menjelaskan, terapi plasma konvalesen merupakan memberikan plasma dari orang yang sudah sembuh dari Covid-19, kepada pasien yang sedang mengalami sakit karena Covid-19.

3. Apa tujuan dari terapi plasma konvalesen?

Dugaan mekanisme terapetik terapi plasma konvalesen, menurutnya ada dua. Pertama dengan memberikan antibodi untuk melawan Covid-19 dalam tubuh pasien.

“Kedua, membantu pasien meredakan peradangan hebat (hiperinflamasi response) melalui sitokin, protein dan faktor-faktor anti-inflamasi dalam plasma yang didonorkan,” kata Tonang.

4. Apakah terapi plasma konvalesen efektif dan aman?

Beberapa laporan, Tonang berujar, baik laporan kasus, serial kasus, maupun review sistematis dan meta-analis, sejauh ini memberikan simpulan bahwa terapi plasma konvalesen itu memberi sedikit manfaat atau manfaatnya tidak signifikan.

Bahkan, Tonang menerangkan, ada beberapa penelitian yang dihentikan, karena hasil sementara belum menunjukkan manfaat signifikan. “Memang masih terdapat perbedaan standar minimal titer antibodi dan daya netralisasi yang dipersyaratkan. Faktor tersebut juga mempengaruhi variasi hasil,” ujar Tonang.

Sementara dari segi keamanan, dua laporan dari review terhadap 5 ribu dan 20 ribu orang yang menerima terapi plasma konvalesen, risiko yang terjadi setara dengan risiko pada orang menerima transfusi darah selama ini.

Meskipun sudah dengan pemeriksaan penyaring ketat, lalu dilakukan reaksi silang (cross-match) sebelum ditransfusikan, selalu tetap ada risiko yang terjadi ketika pasien menerima transfusi. “Demikian juga pada terapi plasma konvalesen ini,” tutur dia.

Angka kejadian reaksi transfusi pada donor darah kecil, tapi tetap ada yang mengalami. Begitu juga pada terapi plasma konvalesen. Maka sebagaimana pada pemberian transfusi, harus ada pengawasan dan antisipasi terjadinya reaksi transfusi.

Ada yang mengkhawatirkan terjadinya antibody-dependent enhancement (ADE) pada terapi plasma konvalesen, terutama bila plasma yang didonorkan ternyata tidak cukup mengandung antibodi penetralisasi (neutralizing antibodi). Kekhawatiran ini memang ada dasarnya. Tapi sejauh ini, belum ada laporan kejadian tersebut.

5. Mengapa terapi plasma konvalesen bisa membuat sembuh?

Tonang menjelaskan bahwa jika per kasus, ada yang berhasil baik. Ada dua faktor yang dianggap penting, tanpa meremehkan faktor-faktor lain.

Pertama, kata dia, titet antibodi dari donor harus kuat. “Lebih tepat lagi sebenarnya adalah daya netralisasinya harus kuat,” kata Tonang.

Untuk calon donor terapi plasma konvalesen, dia memperingatkan, tidak cukup dengan pemeriksaan rapid test antibodi menggunakan metode lateral, tapi harus dengan metode khusus dihitung berapa kadarnya.

“Sayangnya, belum ada patokan baku berapa kadar minimal yang cukup. Secara internasional, angka patokannya juga masih bervariasi. Untuk Indonesia, buku panduan menetapkan angka minimal 1:320. Ini bila dengan metode dilusi,” ujar dia.

Untuk kepastian angkanya, lebih tepat sebenarnya dengan mengukur daya netralisasi. Yang diukur dalam daya netralisasi ini tidak hanya satu jenis Antibodi G atau IgG dari protein tertentu, tapi semua antibodi dalam plasma calon donor.

“Bisa IgG, bisa juga IgA dan IgM, serta untuk beberapa jenis antigen dalam virusnya. Jadi tidak tunggal,” tutur Tonang.

Standar BPOM untuk Indonesia, daya netralisasi plasma calon donor adalah minimal 1:160. Pemeriksaan ini yang baru proses validasi di Kementerian Kesehatan, jadi belum bisa digunakan masyarakat.

Prinsip dasarnya, menurut Tonang, adalah semakin tinggi kadar antibodinya, diharapkan daya netralisasinya juga makin kuat. Netralisasi ini adalah proses antibodi menyelubungi dan mengikat virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19, sehingga tidak bisa berikatan dengan sel tubuh manusia. Selanjutnya virus itu dibersihkan oleh tentara sistem imun kita.

Untuk saat ini, karena tidak selalu bisa dilakukan uji-uji tersebut, maka selama terbukti ada antibodinya, entah seberapa, diambil plasmanya untuk terapi plasma konvalesen. Maka hasilnya juga bervariasi.

Sedangkan, faktor kedua adalah waktu pemberian. Durasi waktu yang tepat adalah ketika pasien mengalami viral load tinggi. Maka pemberian terapi plasma konvalesen dengan kadar antibodi tinggi (dan daya netralisasi yang kuat) akan efektif membersihkan virus tersebut.

Menurut Tonang, dokter mengenal ada tiga tahapan dalam proses perjalanan penyakit Covid-19. “Di awal, virus yang berperan. Di tengah terjadi peralihan. Di akhir, response imun hebat yang menentukan. Maka pemberian terapi plasma konvalesen efektif pada fase awal itu. Tapi ketika sudah terjadi situasi hiperinflamasi oleh respon imun, efektivitas terapi plasma konvalesen menjadi berkurang signifikan,” ujar Tonang.

Berita terkait

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

5 jam lalu

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

Kemenkes mendapat beberapa laporan yang menunjukkan perubahan gejala pada penderita DBD pascapandemi COVID-19. Apa saja?

Baca Selengkapnya

Dokter Bedah Ternama Gaza Tewas di Penjara Israel, Diduga Disiksa

6 jam lalu

Dokter Bedah Ternama Gaza Tewas di Penjara Israel, Diduga Disiksa

Seorang dokter bedah Palestina terkemuka dari Rumah Sakit al-Shifa di Gaza meninggal di penjara Israel setelah lebih dari empat bulan ditahan.

Baca Selengkapnya

Cerita Dosen Muda ITB, Raih Gelar Doktor di Usia 27 dan Bimbing Tesis Mahasiswa Lebih Tua

10 jam lalu

Cerita Dosen Muda ITB, Raih Gelar Doktor di Usia 27 dan Bimbing Tesis Mahasiswa Lebih Tua

Nila Armelia Windasari, dosen muda ITB menceritakan pengalamannya meraih gelar doktor di usia 27 tahun.

Baca Selengkapnya

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

11 jam lalu

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

Selain AstraZeneca, ini deretan vaksin Covid-19 yang pernah digunakan di Indonesia

Baca Selengkapnya

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

17 jam lalu

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

MUI sempat mengharamkan vaksin AstraZeneca. Namun dibolehkan jika situasi darurat.

Baca Selengkapnya

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

20 jam lalu

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Mayoritas Gaji Dosen di Bawah Rp 3 Juta, SPK: 76 Persen Terpaksa Kerja Sampingan

1 hari lalu

Mayoritas Gaji Dosen di Bawah Rp 3 Juta, SPK: 76 Persen Terpaksa Kerja Sampingan

Hasil riset Serikat Pekerja Kampus: sebagian besar dosen terpaksa kerja sampingan karena gaji dosen masih banyak yang di bawah Rp 3 juta.

Baca Selengkapnya

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

1 hari lalu

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

Astrazeneca pertama kalinya mengakui efek samping vaksin Covid-19 yang diproduksi perusahaan. Apa saja fakta-fakta seputar kasus ini?

Baca Selengkapnya

Kilas Balik Kasus Korupsi APD Covid-19 Rugikan Negara Rp 625 Miliar

6 hari lalu

Kilas Balik Kasus Korupsi APD Covid-19 Rugikan Negara Rp 625 Miliar

KPK masih terus menyelidiki kasus korupsi pada proyek pengadaan APD saat pandemi Covid-19 lalu yang merugikan negara sampai Rp 625 miliar.

Baca Selengkapnya

Persetujuan Baru Soal Penularan Wabah Melalui Udara dan Dampaknya Pasca Pandemi COVID-19

7 hari lalu

Persetujuan Baru Soal Penularan Wabah Melalui Udara dan Dampaknya Pasca Pandemi COVID-19

Langkah ini untuk menghindari kebingungan penularan wabah yang terjadi di awal pandemi COVID-19, yang menyebabkan korban jiwa yang cukup signifikan.

Baca Selengkapnya