Tips Social Commerce Biar Tak Sekadar Pindah Lapak ke Media Sosial
Reporter
Tempo.co
Editor
Zacharias Wuragil
Jumat, 5 Maret 2021 14:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemanfaatan media sosial untuk aktivitas promosi dan jual-beli alias social commerce meningkat hingga tiga kali lipat sepanjang 2020 lalu. Lonjakan ini dimulai sejak awal kuartal 2, awal pandemi Covid-19, dan terus meningkat tajam hingga akhir kuartal 4 dan bahkan awal 2021.
“Peningkatan tajam mencakup bisnis dari 23 industri dengan 13 use cases yang beragam,” kata Delta Purna Widyangga, CEO Qiscus—sebuah perusahaan penyedia platform percakapan multichannel yang membantu bisnis memenuhi ekspektasi dari customer experience.
Di dalam negeri, Delta mengatakan data itu sejalan dengan catatan Badan Pusat Statistika (BPS) yang menyebutkan penjualan online meningkat hingga 480 persen pada tengah tahun lalu dibandingkan dengan awal tahun. Sedang di global, kenaikan tren social commerce yang signifikan juga sesuai dengan hasil riset McKinsey yang dirilis pada masa awal pandemi Covid-19.
“Jadi, di satu sisi Covid-19 memang telah mengakselerasi proses transformasi digital. Dari yang tadinya diprediksi akan bertransformasi di lima tahun yang akan datang, menjadi hanya 8 minggu, terutama bagi konsumen dan pelaku bisnis,” katanya lewat keterangan tertulis yang dibagikannya 3 Maret 2021.
Saat ini, seiring dengan pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama setahun penuh, Delta mengatakan, berkomunikasi melalui medium chat bukan lagi menjadi sebuah keterpaksaan bagi konsumen. Sebaliknya, sudah menjadi consumer behaviour yang baru, yang mempengaruhi customer experience ketika mereka bertransaksi dengan bisnis.
Bahkan sebelum Covid-19, dia menambahkan, berbagai riset menyebutkan chatting telah menjadi kebiasaan yang cukup diakrabi masyarakat. “Artinya di tengah situasi seperti sekarang, masyarakat sebagai konsumen hanya memperluas cakupan interaksi chatting-nya. Seperti sampai ke bertransaksi dengan bisnis, atau yang disebut sebagai chat commerce.”
Baca juga:
WhatsApp Tunda Kebijakan Baru Soal Privasi, Simak Penuturannya
Untuk merespon ekspektasi konsumen akan tersedianya customer experience yang berbasis chat, bisnis juga diharapkan dapat lebih peka dan inovatif dalam memanfaatkan aplikasi chat, atau teknologi media sosial secara umum, sebagai saluran bertransaksinya. Namun, penting bagi bisnis untuk tidak mengimplementasikan teknologi secara ekstrem.
<!--more-->
Hal ini perlu diperhatikan karena masa adopsi teknologi yang mengubah proses operasional bisnis, menuntut perubahan internal yaitu para resources, baik secara praktek maupun pola pikir. Jadi bisnis sangat direkomendasikan untuk melakukan perpindahan ini secara bertahap namun penuh.
Untuk perpindahan itu, Delta membagikan tipsnya agar setiap bisnis bisa bertransformasi digital secara penuh, tidak sebatas migrasi transaksi dan komunikasi dengan konsumen ke platform chat. Pertama, menciptakan official account untuk meningkatkan kepercayaan.
Dia mengingatkan kalau transaksi online sangat rentan dengan isu penipuan. Untuk menghindari kecurigaan ini dan membangun kepercayaan konsumen dari awal, akun resmi di aplikasi chat yang digunakan bisa sangat menolong.
“Misalnya ketika menggunakan WhatsApp, maka penting untuk memiliki akun bisnis terverifikasi yang ditandai dengan centang hijau.” katanya.
Kedua, menciptakan customer experience yang interaktif dan menyenangkan dengan kolaborasi manusia-chatbot. Ini, kata Delta, menukil data dari Forbes bahwa lebih dari 50 persen konsumen masih tetap memilih berkomunikasi dengan manusia langsung untuk percakapan yang lebih detail dan kompleks. Sedang chatbot berperan memastikan konsumen mendapatkan respon yang instan untuk memperoleh informasi awal.
Ketiga, tentu saja, evaluasi pelayanan online secara konsisten. Poin ini disebut Delta merupakan tips yang simpel namun memberikan dampak besar dalam proses menciptakan pengalaman konsumen yang relevan dan menyenangkan. "Sayangnya banyak bisnis yang tidak menyadari hal ini,” katanya.