Menristek Minta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Fokus 3 Hal Bermanfaat Ini
Reporter
Moh Khory Alfarizi
Editor
Zacharias Wuragil
Jumat, 5 Maret 2021 18:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro meminta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) fokus pada tiga hal yang bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat. Yang pertama, kata menristek, adalah pengembangan sumber daya perikanan, kehutanan, dan pertanian.
"Kedua, mitigasi bencana khususnya hidrometeorologi dan ketiga, mengenai tata ruang wilayah,” ujar dia dalam kunjungan kerja ke Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh dan Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, Jumat 5 Maret 2021.
Fokus pertama, Bambang menjelaskan, yang menarik bukanlah roket melainkan data zona penangkapan ikan. Menurutnya, meskipun terdengar simpel, tapi kegunaannya sangat besar khususnya bagi nelayan di Indonesia terutama mereka yang bukan termasuk perusahaan.
Menurutnya, data zona perikanan juga bisa dimanfaatkan untuk memahami bagaimana risiko yang dihadapi nelayan. Misalnya, perubahan iklim yang membuat munculnya gelombang tinggi, yang peringatannya juga kerap disampaikan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
“Ini pentingnya teknologi LAPAN, kalau bisa ya tingkat akurasi satelitnya dipertajam. Tentu pihak LAPAN bisa bernegosiasi dengan provider, tapi yang penting adalah analisa yang disebarkan sebagai zona penangkapan ikan,” kata Bambang.
Di bidang kehutanan, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu melanjutkan, isunya bukan hanya terkait dengan bencananya saja. Namun, ada potensi lain yaitu melihat bagaimana kondisi hutan di Indonesia.
Menurutnya, cara terbaik untuk melihat kondisi hutan adalah dengan melihat dari atas. LAPAN diharapkan bisa memberikan analisa yang akurat. “Ini bisa menjadi bahan untuk pengambilan kebijakan apakah harus benar-benar mencegah deforestasi atau seperti apa.”
Sementara di bidang pertanian, menristek menerangkan, saat dirinya menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, diminta untuk menjadi penengah antara Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait data produktivitas pertanian di Indonesia. Saat itu data dari kedua lembaga tersebut memiliki hitungan berbeda.
Menurut Bambang, BPS tidak mungkin menghitung padi melalui pendekatan sensus. Sementara, jika dengan survei yang menggunakan sampling, risikonya bisa salah. Hitungan BPS adalah luas lahan dikali produktivitas per hektare, yang seharusnya tidak berbeda dengan Kementan.
“Tapi yang berbeda adalah luas lahannya. Karena Kementan menggunakan pendekatan administratif,” katanya.
Solusinya adalah melihat melalui satelit oleh LAPAN, supaya tahu mana yang benar-benar sawah. Jika ada sawah baru pun, disebutnya, harus dibuktikan lebih dulu, sehingga jika ada yang baru datanya bisa ditambahkan. Begitu juga jika ada yang berkurang.
Baca juga:
Resmikan Lab Satelit, Menristek Minta LAPAN Sampai ke Antariksa
“Intinya apa yang dilakukan LAPAN sangat bermanfaat di sektor perikanan, kehutanan, termasuk pertanian,” kata Menristek Bambang.
<!--more-->
Lalu di bidang bencana. Menristek Bambang meminta agar fokusnya pada bencana hidrometeorologi. Dia yakin bahwa penginderaan jauh akan sangat penting dan bisa menjadi solusi.
Bambang mencontohkan, bencana longsor. Dia yakin dengan penginderaan jauh, bisa mendeteksi mana daerah yang rawan longsor berdasarkan faktor-faktor penyebabnya.
“Karena enggak banyak yang punya info daerah yang rawan longsor, bagaimana kondisi tanah dan curah hujan, termasuk sungainya. Ini harus dilihat dari atas,” katanya menambahkan.
Mengenai tata ruang, Indonesia, menurut Bambang, mungkin terlihat rapi hanya di atas kertas. Bambang menjelaskan, banyak daerah yang semangat membentuk kabupaten/kota baru, tapi karena aturan tata ruangnya telat, sehingga menjadi tidak tertata.
Bambang menceritakan salah satu kejadian sebuah kota di Sumatera yang tercatat dalam kategori hutan. “Nah, apakah ini masalah administrasi? Tapi kan harusnya ada ujungnya. Kita harus punya pemetaan yang jelas,” kata dia.
Jadi, Bambang menerangkan, jika ada usulan daerah harus dicek terlebih dulu dari penginderaan jauhnya. Kalau ternyata itu hutan, dan dipaksa menjadi kabupaten/ kota baru, itu artinya melanggar aturan yang dipegang mengenai jangan mengurangi hutan.
“Kita ini keasikan dengan dokumen hukum, tapi lupa yang kita hadapi adalah manusia dengan ekosistemnya,” ujar Bambang.
Merangkum seluruhnya, Bambang mengibaratkan LAPAN sebagai mata yang jeli dan awas, serta bisa memperkirakan ada bahaya atau tidak. Sedang lembaga lain melakukan apa yang mereka kuasai untuk memitigasi potensi bencana yang terjadi.
Misalnya, kata dia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) akan diminta memperbaiki teknologi modifikasi cuacanya. Sementara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bisa mengamati daerah mana yang berpotensi banjir, gempa, longsor, dan bencana lainnya.
Baca juga:
LAPAN Target Luncurkan Roket Dua Tingkat 2024, Orbitkan Satelit 2040
“Kalau itu bisa dilakukan ini akan sangat baik. Jadi tidak hanya cerita tapi bisa kasih solusi karena inovasi itu harus bisa jadi solusi, yang jelas manfaatnya,” kata menristek berpesan kepada jajaran petinggi LAPAN.