Vaksin Covid-19 Buatan Terawan, Dekan FKUI Ingat Pesannya ke Mahasiswa
Reporter
Moh Khory Alfarizi
Editor
Zacharias Wuragil
Jumat, 16 April 2021 19:34 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Uji klinis Vaksin Covid-19 yang dikembangkan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menuai pro dan kontra. Gara-garanya, sejumlah anggota DPR dan politikus menunjukkan diri bersedia dan menjalani uji klinis yang sejatinya masih terlarang berdasarkan keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan itu. BPOM memandang masih ada tindakan korektif yang harus dilakukan dan dilaporkan Terawan dkk sesuai ketentuan uji klinis.
Menanggapai pro dan kontra yang terjadi atas Vaksin Sel Dendritik untuk SARS-CoV-2 atau Vaksin Nusantara itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam teringat pesannya saat upacara angkat sumpah dokter 2018. Saat itu, Ari menyampaikan pesan yang menurutnya sangat penting kepada 163 orang lulusan dokter FKUI.
“Pesan itu berhubungan dengan gonjang-ganjing Vaksin Nusantara yang ramai di media sosial sekarang. Hal ini menjadi tidak baik untuk pendidikan masyarakat karena mempertontonkan konflik antar lembaga,” ujar dia menuturkan dalam keterangan tertulis, Jumat, 16 April 2021.
Pesan yang disampaikan Ari tiga tahun lalu adalah pentingnya Evidence Based Medicine (EBM) sebagai landasan praktik klinik. Selama pendidikannya mahasiswa kedokteran mendapatkan modul mengenai EBM, serta praktik dan mendapatkan tugas menyusunnya.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI itu mengaku salut dengan sebagian mahasiswanya, karena dinilai baik sekali menyelesaikan tugas EBM dalam bentuk evidence based case report atau meta analisis. “Bahkan tulisan tentang EBM sampai ada yang dipublikasi pada jurnal nasional dan internasional,” kata dia.
Prinsip EBM disebutnya akan terus melekat setelah mahasiswa bekerja sebagai dokter dan praktisi klinis. Disisi lain, mahasiswa tetap diminta untuk melakukan inovasi dan terobosan dalam melakukan praktik kliniknya. "Tentu mahasiswa juga paham bahwa dalam melakukan inovasi tersebut ada aturan dan pakem yang harus dilalui."
Di rumah sakit, Ari menambahkan, ada komite medik yang memberikan wewenang seorang dokter dalam melakukan suatu keahlian. Jika berencana melakukan penelitian atau membuat inovasi baru, penunjang diagnosis atau terapi juga harus melalui proses penelitian atau uji klinis.
Sebelum memulai proses penelitian maka proposal harus lolos komite etik terlebih dahulu. “Setelah proposal kita lolos kaji etik, maka barulah kita melakukan penelitian,” kata Ari menirukan pesannya.
Dalam melakukan penelitian atau uji klinis, mahasiswa juga sudah diajari harus memahami good clinical practice (GCP). Uji klinis di berbagai negara juga diminta untuk mengikuti kode etik penelitian internasional. Aplikasinya di antaranya dalam produksi vaksin Covid-19 saat ini.
Baca juga:
Vaksin Covid-19 ala Terawan: Apa Itu Sel Dendritik dan Kenapa Mahal?
<!--more-->
Dalam melakukan uji klinis tentang suatu pengobatan, mahasiswa juga telah mengetahui ada 4 fase klinis yang harus dilalui. Bahkan untuk obat tertentu proses penelitian tersebut harus melalui uji pra klinis.
Fase pertama, Ari menjelaskan, dilakukan pada kelompok kecil manusia dan biasanya orang sehat. Fase pertama ini bertujuan untuk menilai bahwa pengobatan baru yang diberikan memang tidak menimbulkan isu keamanan dan keselamatan pasien.
Jika fase pertama dilalui, penelitian masuk ke fase 2. Pada tahap ini pengujian dilakukan pada kelompok manusia yang lebih besar, biasanya pada kelompok pasien yang menjadi indikasi atau target pengobatan baru atau metode baru itu. Pada tahap ini, Ari berujar, efektivitas dan dosis yang tepat akan diuji.
Setelah uji klinis fase 2 ini lolos, maka uji klinis ini bisa lanjut pada uji klinis fase 3. Penelitian akan melalui pengujian dengan jumlah sampel lebih besar, bisa melibatkan ratusan subjek penelitian dan dilakukan secara multi-centre baik antar pendidikan dalam satu negara bahkan bisa lintas negara.
“Jika fase 3 dilalui, maka obat atau metode baru ini siap untuk dipasarkan,” kata Ari menunjuk ke fase terakhir, 4, atau post marketing surveillance.
Dalam perjalanan uji klinik tersebut, Ari juga mengingatkan, bisa saja terjadi penghentian kalau memang didapat proses-proses yang menunjukkan bahwa ada isu keselamatan pasien yang muncul. Bahkan itupun bisa terjadi di fase 4 yakni obat ditarik dari pasaran.
“Uji klinik ini seharusnya telah dipahami dengan baik dan sebagian dari peserta didik telah melaksanakan dalam modul penelitian,” kata dokter spesialis penyakit dalam kelahiran 54 tahun lalu itu.
Uji klinis yang sesuai dengan GCP, dia menegaskan, bukan sesuatu penghalang, bahkan sebaliknya menjadi tantangan untuk dilakukan dengan sebaik-baiknya. Saat uji klinis tersebut belum tuntas sampai uji klinis fase 3, disebut Ari, para dokter harus maklum bahwa ada kode etik yang harus ditaati—termasuk tidak memperbolehkan promosi bahkan menarik biaya dari pasien.
“Mudah-mudahan konflik seputar Vaksin Nusantara ini segera berakhir dan ada solusi terbaik untuk keselamatan pasien dan masyarakat,” tutur Ari.
Baca juga:
BPOM: Vaksin Nusantara Belum Boleh Lanjutkan Uji klinis