Studi: Bencana Ekstrem dari Laut Akan Terjang Indonesia 100 Kali Lebih Sering

Rabu, 1 September 2021 17:37 WIB

Gelombang laut melewati batu pemecah ombak sehingga menghantam daratan pesisir pantai wisata Ujong Blang, Lhokseumawe, Aceh, Kamis 27 Mei 2021. Menurut BMKG, gelombang tinggi akibat pengaruh Gerhana Bulan Total, fenomena Super Blood Moon itu memicu kecepatan 20 knot atau setara 37 kilometer per jam yang mempengaruhi peningkatan ketinggian muka air laut 2,5 hingga 3 meter di wilayah pesisir Pantai Bagian Timur Aceh, sehinga merusak puluhan pondok wisata dan rumah warga terendam rob. ANTARA FOTO/Rahmad

TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah penelitian terbaru memprediksi bencana naiknya muka laut secara ekstrem akan terjadi 100 kali lebih sering di banyak pantai di dunia pada akhir abad ini. Pemicunya tidak lain adalah pemanasan global yang menjadi mesin dari kenaikan muka air laut yang terus terjadi dan kelahiran fenomena-fenomena perubahan iklim.

Hasil studi bencana kenaikan muka laut ekstrem itu dipublikasikan dalam Jurnal Nature Climate Change edisi 30 Agustus 2021. Studi dilakukan terhadap 7.283 lokasi pantai dan mendapatkan setengahnya bakal dilanda terjangan gelombang tinggi yang lebih sering.

Naiknya permukaan laut ekstrem dalam bentuk pasang, terjangan badai ataupun gelombang tinggi semula diprediksi terjadi setiap 100 tahun sekali. Kini prediksinya berubah, akan lebih sering terjadi hingga lebih dari satu kali setiap tahun sepanjang akhir abad ini.

Roshanka Ranasinghe, profesor di IHE Delft and Deltares, Belanda, merancang studi itu bersama penulis utama laporan dalam jurnal, Claudia Tebal dari Laboratorium Nasional Pacific Northwest National Department of Energy, Amerika Serikat. Studi ini menyatukan tim peneliti internasional dari Amerika Serikat, Belanda, Italia, dan Australia, yang pernah memimpin penelitian besar sebelumnya tentang kenaikan permukaan laut ekstrem dan efek kenaikan suhu permukaan laut.

Tim tersebut mengumpulkan data dan memperkenalkan metode sintesis baru dengan melakukan perkiraan alternatif. Mereka memetakan kemungkinan efek kenaikan suhu di Bumi mulai dari 1,5 – 5,0 derajat Celsius yang dibandingkan dengan masa pra-industri.

Advertising
Advertising

Mereka menemukan hal yang tidak terduga, yakni dampak dari naiknya air laut pada frekuensi yang ekstrem akan terasa paling parah di wilayah tropis, dan umumnya di garis lintang yang lebih rendah. Lokasi yang paling mungkin terkena dampak besarnya adalah belahan bumi selatan, daerah di sepanjang Laut Tengah dan Semenanjung Arab, Pantai selatan Pasifik Amerika Utara termasuk Hawaii, Karibia, Filipina, dan Indonesia.

Ranasinghe menyatakan, pertanyaan utama yang mendorong penelitiannya adalah seberapa tinggi pemanasan suhu Bumi yang bisa membuat dampak yang biasanya terjadi 100 tahun sekali menjadi bencana tahunan. “Jawabannya ternyata adalah tidak lebih dari apa yang telah terdokumentasikan saat ini,” ujarnya sambil menambahkan bahwa dunia saat ini telah menghangat sekitar 1,1 derajat Celsius dibandingkan dengan masa pra-industri.

Meski para peneliti mengatakan ada banyak ketidakpastian mengenai iklim di masa depan, namun kemungkinan terbesar pola kenaikan permukaan laut ini akan terus terjadi. Dasarnya, peningkatan suhu global menjadi 1,5 atau 2,0 derajat Celsius dibandingkan dengan temperatur bumi pada masa pra-industri.

Para peneliti memperkirakan suhu tersebut sebagai situasi terparah yang mungkin terjadi akibat pemanasan global. Perubahan kemungkinan akan terjadi lebih cepat lagi di akhir abad ini, dengan banyaknya lokasi yang mengalami kenaikan permukaan laut 100 kali lipat dari yang pernah diprediksi terjadi sebelum 2070.

Studi baru ini selaras dengan laporan terkini Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang, di antaranya, menyatakan kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5 derajat Celsius bakal dicapai paling lambat 20 tahun lagi. “Ini bukanlah sebuah kejutan dan tidak mengherankan bahwa pada pemanasan suhu 1,5 derajat Celsius akan memiliki efek substansial pada frekuensi dan besarnya kenaikan permukaan laut yang ekstrem,” kata Ranasinghe.

Tren tersebut memperkuat satu skenario bencana yang sangat pesimistis dari hasil studi itu bahwa 99 persen dari lokasi yang diteliti akan mengalami peningkatan kejadian kenaikan muka laut ekstrem 100 kali lipat pada 2100 dengan pemanasan global 1,5 derajat Celsius. Studi juga memunculkan skenario lain yang lebih optimistis, sekitar 70 persen lokasi tersebut terlihat tidak akan mengalami banyak perubahan bahkan dengan kenaikan suhu 5 derajat Celsius sekalipun.

Berita terkait

Damainya Desa Giethoorn di Belanda yang Dijuluki Venesia dari Utara, Tak Ada Mobil dan Jalan Raya

1 jam lalu

Damainya Desa Giethoorn di Belanda yang Dijuluki Venesia dari Utara, Tak Ada Mobil dan Jalan Raya

Wisatawan bisa menjelajahi desa dengan perahu, mencicipi masakan Belanda, atau sekadar menikmati suasana damai yang tak terlupakan.

Baca Selengkapnya

Suhu Panas, BMKG: Suhu Udara Bulan Maret 2024 Hampir 1 Derajat di Atas Rata-rata

2 hari lalu

Suhu Panas, BMKG: Suhu Udara Bulan Maret 2024 Hampir 1 Derajat di Atas Rata-rata

Suhu panas yang dirasakan belakangan ini menegaskan tren kenaikan suhu udara yang telah terjadi di Indonesia. Begini data dari BMKG

Baca Selengkapnya

Kemendikbud Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Sejumlah Daerah Terdampak Bencana

3 hari lalu

Kemendikbud Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Sejumlah Daerah Terdampak Bencana

Bencana alam melanda sejumlah wilayah di Tanah Air dalam sebulan terakhir.

Baca Selengkapnya

Kisah Cut Nyak Dhien Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional 60 Tahun Lalu, Rakyat Aceh Menunggu 8 Tahun

3 hari lalu

Kisah Cut Nyak Dhien Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional 60 Tahun Lalu, Rakyat Aceh Menunggu 8 Tahun

Perlu waktu bertahun-tahun hingga akhirnya pemerintah menetapkan Cut Nyak Dhien sebagai pahlawan nasional.

Baca Selengkapnya

Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

3 hari lalu

Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

Inisiatif ini akan membantu sistem kesehatan Indonesia untuk menjadi lebih tangguh terhadap dampak perubahan iklim.

Baca Selengkapnya

Belanda Jajaki Peluang Kerja Sama di IKN

4 hari lalu

Belanda Jajaki Peluang Kerja Sama di IKN

Sejumlah perusahaan dan lembaga penelitian di Belanda, telah memberikan dukungan kepada Indonesia, termasuk terkait IKN

Baca Selengkapnya

Kerusakan Alat Pemantau Gunung Ruang, BRIN Teliti Karakter Iklim, serta Kendala Tes UTBK Mengisi Top 3 Tekno

4 hari lalu

Kerusakan Alat Pemantau Gunung Ruang, BRIN Teliti Karakter Iklim, serta Kendala Tes UTBK Mengisi Top 3 Tekno

Artikel soal kerusakan alat pemantau erupsi Gunung Ruang menjadi yang terpopuler dalam Top 3 Tekno hari ini.

Baca Selengkapnya

Pusat Riset Iklim BRIN Fokus Teliti Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pembangunan

5 hari lalu

Pusat Riset Iklim BRIN Fokus Teliti Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pembangunan

Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN fokus pada perubahan iklim yang mempengaruhi sektor pembangunan.

Baca Selengkapnya

Kemenkes, UNDP dan WHO Perkuat Layanan Kesehatan Hadapi Perubahan Iklim

6 hari lalu

Kemenkes, UNDP dan WHO Perkuat Layanan Kesehatan Hadapi Perubahan Iklim

Kemenkes, UNDP dan WHO kolaborasi proyek perkuat layanan kesehatan yang siap hadapi perubahan iklim.

Baca Selengkapnya

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

7 hari lalu

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

Salah satu Rukun Tetangga (RT) di wilayah Jakarta Timur kini tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

Baca Selengkapnya