Studi: Bencana Ekstrem dari Laut Akan Terjang Indonesia 100 Kali Lebih Sering
Reporter
Zacharias Wuragil
Editor
Zacharias Wuragil
Rabu, 1 September 2021 17:37 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah penelitian terbaru memprediksi bencana naiknya muka laut secara ekstrem akan terjadi 100 kali lebih sering di banyak pantai di dunia pada akhir abad ini. Pemicunya tidak lain adalah pemanasan global yang menjadi mesin dari kenaikan muka air laut yang terus terjadi dan kelahiran fenomena-fenomena perubahan iklim.
Hasil studi bencana kenaikan muka laut ekstrem itu dipublikasikan dalam Jurnal Nature Climate Change edisi 30 Agustus 2021. Studi dilakukan terhadap 7.283 lokasi pantai dan mendapatkan setengahnya bakal dilanda terjangan gelombang tinggi yang lebih sering.
Naiknya permukaan laut ekstrem dalam bentuk pasang, terjangan badai ataupun gelombang tinggi semula diprediksi terjadi setiap 100 tahun sekali. Kini prediksinya berubah, akan lebih sering terjadi hingga lebih dari satu kali setiap tahun sepanjang akhir abad ini.
Roshanka Ranasinghe, profesor di IHE Delft and Deltares, Belanda, merancang studi itu bersama penulis utama laporan dalam jurnal, Claudia Tebal dari Laboratorium Nasional Pacific Northwest National Department of Energy, Amerika Serikat. Studi ini menyatukan tim peneliti internasional dari Amerika Serikat, Belanda, Italia, dan Australia, yang pernah memimpin penelitian besar sebelumnya tentang kenaikan permukaan laut ekstrem dan efek kenaikan suhu permukaan laut.
Tim tersebut mengumpulkan data dan memperkenalkan metode sintesis baru dengan melakukan perkiraan alternatif. Mereka memetakan kemungkinan efek kenaikan suhu di Bumi mulai dari 1,5 – 5,0 derajat Celsius yang dibandingkan dengan masa pra-industri.
Mereka menemukan hal yang tidak terduga, yakni dampak dari naiknya air laut pada frekuensi yang ekstrem akan terasa paling parah di wilayah tropis, dan umumnya di garis lintang yang lebih rendah. Lokasi yang paling mungkin terkena dampak besarnya adalah belahan bumi selatan, daerah di sepanjang Laut Tengah dan Semenanjung Arab, Pantai selatan Pasifik Amerika Utara termasuk Hawaii, Karibia, Filipina, dan Indonesia.
Ranasinghe menyatakan, pertanyaan utama yang mendorong penelitiannya adalah seberapa tinggi pemanasan suhu Bumi yang bisa membuat dampak yang biasanya terjadi 100 tahun sekali menjadi bencana tahunan. “Jawabannya ternyata adalah tidak lebih dari apa yang telah terdokumentasikan saat ini,” ujarnya sambil menambahkan bahwa dunia saat ini telah menghangat sekitar 1,1 derajat Celsius dibandingkan dengan masa pra-industri.
Meski para peneliti mengatakan ada banyak ketidakpastian mengenai iklim di masa depan, namun kemungkinan terbesar pola kenaikan permukaan laut ini akan terus terjadi. Dasarnya, peningkatan suhu global menjadi 1,5 atau 2,0 derajat Celsius dibandingkan dengan temperatur bumi pada masa pra-industri.
Para peneliti memperkirakan suhu tersebut sebagai situasi terparah yang mungkin terjadi akibat pemanasan global. Perubahan kemungkinan akan terjadi lebih cepat lagi di akhir abad ini, dengan banyaknya lokasi yang mengalami kenaikan permukaan laut 100 kali lipat dari yang pernah diprediksi terjadi sebelum 2070.
Studi baru ini selaras dengan laporan terkini Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang, di antaranya, menyatakan kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5 derajat Celsius bakal dicapai paling lambat 20 tahun lagi. “Ini bukanlah sebuah kejutan dan tidak mengherankan bahwa pada pemanasan suhu 1,5 derajat Celsius akan memiliki efek substansial pada frekuensi dan besarnya kenaikan permukaan laut yang ekstrem,” kata Ranasinghe.
Tren tersebut memperkuat satu skenario bencana yang sangat pesimistis dari hasil studi itu bahwa 99 persen dari lokasi yang diteliti akan mengalami peningkatan kejadian kenaikan muka laut ekstrem 100 kali lipat pada 2100 dengan pemanasan global 1,5 derajat Celsius. Studi juga memunculkan skenario lain yang lebih optimistis, sekitar 70 persen lokasi tersebut terlihat tidak akan mengalami banyak perubahan bahkan dengan kenaikan suhu 5 derajat Celsius sekalipun.