Parasetamol Cemari Perairan Pantai Jakarta, Apa Saja Dampaknya?
Reporter
Zacharias Wuragil
Editor
Zacharias Wuragil
Senin, 4 Oktober 2021 03:12 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tim peneliti gabungan dari Indonesia dari Inggris menemukan konsentrasi tinggi zat aktif dalam farmasi yakni parasetamol di dua dari empat lokasi pengambilan sampel air pantai Jakarta. Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Marine Pollution Bulletin terbit online 5 Juni 2021 itu sedang membuat heboh masyarakat di ibu kota.
Penulis utama laporan dalam jurnal itu adalah Wulan Koagouw, peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi BRIN yang kini sedang menempuh program doktoral di University of Brighton, Inggris. Dia menyebut tingginya konsentrasi parasetamol yang ditemukan di pantai Jakarta melampaui temuan di negara lain seperti Brasil dan Portugis.
Kepada ANTARA, Wulan mengatakan, konsentrasi tinggi parasetamol di Angke dan Ancol tersebut terkait dengan paparan jangka panjang terhadap organisme laut di Teluk Jakarta. Dia menyebut terutama dampak pada budidaya kerang laut di sekitar perairan di Pantai Jakarta itu.
Meskipun memerlukan penelitian lebih lanjut, Wulan menambahkan, beberapa hasil penelitian di Asia Timur, seperti Korea Selatan juga menyebutkan bahwa zooplankton yang terpapar parasetamol menyebabkan peningkatan stres hewan dan oxydative stress.
Maksud dari dampak yang kedua adalah ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan sistem antioksidan, yang berperan dalam mempertahankan homeostasis.
“Homeostasis adalah proses dan mekanisme otomatis yang dilakukan makhluk hidup untuk mempertahankan kondisi konstan agar tubuhnya dapat berfungsi dengan normal, meskipun terjadi perubahan pada lingkungan di dalam atau di luar tubuh,” katanya.
Nyatanya paparan konsentrasi tinggi polutan dari zat aktif farmasi tak hanya terjadi di Jakarta. Sejumlah studi telah menemukan yang sama di perairan permukaan di lokasi lain termasuk negara barat. Penggunaan obat-obatan yang semakin meningkat untuk berbagai keluhan diyakini menjadi faktor di baliknya.
“Malahan, pandemi Covid-19 saat ini telah berkontribusi kepada peningkatan yang lebih tinggi lagi dalam hal penggunaan obat-obatan yang sebagian adalah antibiotik,” tertulis di envirotech-online.
Polutan zat aktif obat-obatan,termasuk parasetamol, di perairan menjadi mencemaskan karena mereka (obat) sejatinya didesain untuk memicu respons biologi pada penggunaan dosis yang rendah. Sedang konsentrasinya yang tinggi yang ditemukan di perairan mungkin memberi dampak yang tidak diinginkan untuk lingkungan.
<!--more-->
Efek utama terlihat pada kehidupan dalam air seperti yang ditunjukkan dalam hasil penelitian terkenal yang telah dipublikasikan, yakni feminisasi ikan. Ini terjadi akibat paparan dari bahan oestrogenic.
Ada juga pengaruh paparan dari bahan aktif obat fluoxetine (Prozac). Yang ini dikenal mengubah perilaku ikan dan mempengaruhi tingkat kesuksesan reproduki dan survival ikan.
Dampak yang signifikan adalah juga meningkatnya resistensi terhadap obat antimikroba. Dugaan penyebabnya, terus meluasnya keberadaan antibiotik dalam lingkungan. Ini juga seperti yang diungkap tim yang meneliti kandungan zat aktif obat-obatan di sungai di Nairobi, Kenya.
“Ancaman potensial dari resistensi obat antimikroba ini adalah sungai yang menjadi sumber air minum dan irigasi pertanian masyarakat setempat,” tertulis dalam laporannya yang dipublikasi dalam jurnal Science of The Total Environment, 10 February 2020.
Berdasarkan data WHO, sudah ada 700 ribu kematian setiap tahun karena kasus resisten terhadap obat antimikroba di dunia. Angkanya diyakini terus meningkat menjadi 10 juta kematian per 2050 nanti apabila tak ada upaya intervensi.
Penyebab lainnya yang membuat cemas dari temuan konsentrasi tinggi parasetamol ataupun zat aktif farmasi lainnya dalam sungai atau perairan pantai adalah risiko jangka panjangnya bagi manusia. “Terutama mereka yang termasuk rentan seperti perempuan hamil, bayi dan anak,” kata Sharon Pfleger, konsultan di Pharmaceutical Public Health.
Menurut European Environment Agency, paparan konsentrasi obat-obatan bisa menyebabkan penyakit tiroid, meningkatnya kolesterol, kerusakan hati, kanker ginjal, kanker ginjal, kanker testis dan berkembangnya efek pada bayi dalam kandungan.
“Obat-obatan meningkat untuk banyak alasan,” kata Sharon Pfleger, “Misalnya karena populasi yang tumbuh dan menua, kemajuan teknologi dan budaya ‘pil untuk setiap keluhan’. Menurut dia, orang berusia 80-85 tahun mengkonsumsi obat-obatan 20 kali lebih banyak daripada usia 20-25.
ENVIRO-TECH, TECHNOLOGY NETWORKS, SCIENCE DIRECT