Studi: Covid-19 Bisa Bertahan Berbulan-bulan di Dalam Tubuh Manusia

Selasa, 28 Desember 2021 12:40 WIB

Seorang pria yang mengenakan masker berjalan melewati ilustrasi virus di luar pusat sains regional di tengah wabah penyakit virus corona (COVID-19), di Oldham, Inggris, 3 Agustus 2020. [REUTERS/Phil Noble]

TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi mengungkap SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, bisa menyebar dalam beberapa hari dari saluran udara ke jantung, otak, dan hampir setiap sistem organ dalam tubuh, di mana ia dapat bertahan selama berbulan-bulan. Studi yang dilakukan National Institutes of Health (NIH), Amerika Serikat, itu digambarkan sebagai analisis paling komprehensif hingga saat ini tentang distribusi dan persistensi virus di dalam tubuh dan otak.

“Kami menemukan patogen itu mampu bereplikasi dalam sel manusia jauh di luar saluran pernapasan,” ujar pihak National Institutes of Health, pada Minggu, 26 Desember 2021.

Hasilnya, dirilis secara online pada hari Sabtu, 25 Desember, dalam sebuah manuskrip yang sedang ditinjau untuk diterbitkan di jurnal Nature. Studi menunjukkan penundaan pembersihan virus sebagai kontributor potensial long Covid-19.

Mereka mencoba memahami mekanisme bertahannya virus, bersama dengan respons tubuh terhadap reservoir virus apa pun, yang bisa membantu meningkatkan perawatan bagi mereka yang menderita. Direktur Pusat Epidemiologi Klinis di Veterans Affairs St. Louis Health Care System, Missouri, Ziyad Al-Aly, yang telah memimpin studi terpisah tentang efek jangka panjang dari Covid-19, menerangkan, studi tersebut adalah pekerjaan yang sangat penting.

Untuk waktu yang lama, Al-Aly dan tim telah menggaruk-garuk kepala dan bertanya mengapa Covid0-19 tampaknya mempengaruhi begitu banyak sistem organ. “Makalah ini menjelaskan beberapa, dan dapat membantu menjelaskan mengapa long Covid-19 bisa, terjadi bahkan pada orang yang memiliki penyakit akut ringan atau tanpa gejala,” tutur dia.

Advertising
Advertising

Temuan ini belum ditinjau oleh ilmuwan independen, dan sebagian besar didasarkan pada data yang dikumpulkan dari kasus Covid-19 yang fatal, bukan pasien dengan yang lama atau disebut sebagai post-acute sequelae of SARS-CoV-2.

Kecenderungan virus corona untuk menginfeksi sel-sel di luar saluran udara dan paru-paru diperdebatkan, dengan banyak penelitian memberikan bukti yang mendukung dan menentang kemungkinan tersebut. Penelitian NIH itu didasarkan pada pengambilan sampel dan analisis jaringan yang ekstensif yang diambil selama otopsi pada 44 pasien yang meninggal setelah tertular virus corona selama tahun pertama pandemi di Amerika.

Beban infeksi di luar saluran pernapasan dan waktu untuk pembersihan virus tidak ditandai dengan baik, terutama di otak. NIH juga mendeteksi RNA SARS-CoV-2 yang persisten di beberapa bagian tubuh, termasuk daerah di seluruh otak, selama 230 hari setelah timbulnya gejala. “Ini mungkin menunjukkan infeksi virus yang rusak, yang telah dijelaskan pada infeksi persisten dengan virus campak,” kata peneliti.

Berbeda dengan penelitian otopsi Covid-19 lainnya, pengumpulan jaringan post-mortem tim NIH lebih komprehensif dan biasanya terjadi dalam waktu sekitar satu hari setelah kematian pasien.

Para peneliti NIH juga menggunakan berbagai teknik pengawetan jaringan untuk mendeteksi dan mengukur tingkat virus, serta menumbuhkan virus yang dikumpulkan dari beberapa jaringan. Termasuk juga dari paru-paru, jantung, usus kecil, dan kelenjar adrenal dari pasien Covid-19 yang meninggal selama minggu pertama sakit mereka.

“Hasil kami secara kolektif menunjukkan bahwa sementara beban tertinggi SARS-CoV-2 ada di saluran udara dan paru-paru, virus dapat menyebar lebih awal selama infeksi dan menginfeksi sel di seluruh tubuh, termasuk secara luas di seluruh otak,” ujar para penulis.

Para peneliti berpendapat bahwa infeksi pada sistem paru-paru dapat mengakibatkan fase ‘viremic’ awal, di mana virus hadir dalam aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh, termasuk melintasi sawar darah-otak, bahkan pada pasien yang mengalami gejala ringan atau tidak sama sekali. Satu pasien dalam studi otopsi adalah remaja yang kemungkinan meninggal karena komplikasi kejang, menunjukkan anak yang terinfeksi tanpa Covid-19 yang parah juga dapat mengalami infeksi sistemik.

Pembersihan virus yang kurang efisien dalam jaringan di luar sistem paru mungkin terkait dengan respons kekebalan yang lemah di luar saluran pernapasan,” kata para penulis.

RNA SARS-CoV-2 terdeteksi di otak enam pasien otopsi yang meninggal lebih dari sebulan setelah mengembangkan gejala. Dan di sebagian besar lokasi dievaluasi di otak dalam ada lima, termasuk satu pasien yang meninggal 230 hari setelah timbulnya gejala.

DETROIT NEWS | NIH


Baca:
Tentang Covid-19 Delmicron yang Viral di India, Ini Penjelasan Ahli

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Berita terkait

Terkini: Penjelasan Wamendag Aturan Impor Tiga Kali Direvisi, Derita Warga Sekitar Smelter Nikel PT KFI

14 jam lalu

Terkini: Penjelasan Wamendag Aturan Impor Tiga Kali Direvisi, Derita Warga Sekitar Smelter Nikel PT KFI

Pemerintah telah merevisi kebijakan impor menjadi Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Wamendag sebut alasannya.

Baca Selengkapnya

OJK Ungkap Potensi Kredit Bermasalah Perbankan usai Relaksasi Restrukturisasi Pandemi Dihentikan

16 jam lalu

OJK Ungkap Potensi Kredit Bermasalah Perbankan usai Relaksasi Restrukturisasi Pandemi Dihentikan

OJK mengungkap prediksi kredit bermasalah perbankan.

Baca Selengkapnya

Mengenal Lawrence Wong, Perdana Menteri Singapura Baru yang Jago Main Gitar

3 hari lalu

Mengenal Lawrence Wong, Perdana Menteri Singapura Baru yang Jago Main Gitar

Berasal dari kalangan biasa, Lawrence Wong mampu melesat ke puncak pimpinan negara paling maju di Asia Tenggara.

Baca Selengkapnya

AstraZeneca Tarik Vaksin Covid-19, Terkait Efek Samping yang Bisa Sebabkan Kematian?

3 hari lalu

AstraZeneca Tarik Vaksin Covid-19, Terkait Efek Samping yang Bisa Sebabkan Kematian?

AstraZeneca menarik vaksin Covid-19 buatannya yang telah beredar dan dijual di seluruh dunia.

Baca Selengkapnya

Pelapor COVID-19 Cina Diperkirakan Bebas setelah 4 Tahun Dipenjara

5 hari lalu

Pelapor COVID-19 Cina Diperkirakan Bebas setelah 4 Tahun Dipenjara

Seorang jurnalis warga yang dipenjara selama empat tahun setelah dia mendokumentasikan fase awal wabah virus COVID-19 dari Wuhan pada 2020.

Baca Selengkapnya

Vaksin AstraZeneca Tidak Diedarkan Lagi di Dunia, Begini Dampaknya untuk Indonesia

9 hari lalu

Vaksin AstraZeneca Tidak Diedarkan Lagi di Dunia, Begini Dampaknya untuk Indonesia

Epidemiolog menilai penarikan stok vaksin AstraZeneca dari pasar global tak berpengaruh terhadap penanganan Covid-19 saat ini.

Baca Selengkapnya

Ramai soal Efek Samping Langka AstraZeneca, Begini Cara Cek Jenis Vaksin Covid-19 yang Pernah Diterima

9 hari lalu

Ramai soal Efek Samping Langka AstraZeneca, Begini Cara Cek Jenis Vaksin Covid-19 yang Pernah Diterima

Pengecekan status dan jenis vaksin Covid-19 bisa dicek melalui aplikasi SatuSehat

Baca Selengkapnya

Bukan Akibat Efek Samping, Ini Kata AstraZeneca yang Tarik Stok Vaksin Covidnya di Dunia

9 hari lalu

Bukan Akibat Efek Samping, Ini Kata AstraZeneca yang Tarik Stok Vaksin Covidnya di Dunia

Perusahaan farmasi AstraZeneca telah memutuskan menarik stok vaksin Vaxzefria dari seluruh dunia. Waktunya bareng dengan sidang gugatan.

Baca Selengkapnya

Riset Ungkap 10 Penyebab Bersin Paling Umum, dari Dupa sampai Bunga

13 hari lalu

Riset Ungkap 10 Penyebab Bersin Paling Umum, dari Dupa sampai Bunga

Berikut 10 penyebab bersin terbanyak hasil riset pada 2.000 orang, bukan hanya karena alergi atau sedang flu.

Baca Selengkapnya

Viral Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Guru Besar FKUI Sebut Manfaatnya Jauh Lebih Tinggi

13 hari lalu

Viral Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Guru Besar FKUI Sebut Manfaatnya Jauh Lebih Tinggi

Pada 2021 lalu European Medicines Agency (EMA) telah mengungkap efek samping dari vaksinasi AstraZeneca.

Baca Selengkapnya