Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Serikat Dosen dan Peneliti HAM Minta Jokowi Hentikan Langkah BRIN
Reporter
Abdi Purmono (Kontributor)
Editor
Zacharias Wuragil
Selasa, 18 Januari 2022 19:10 WIB
TEMPO.CO, Malang - Para dosen dan peneliti hak asasi manusia yang tergabung dalam Serikat Pengajar HAM Indonesia (Sepaham Indonesia) mengeluarkan pendapat hukum tentang sepak terjang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) saat ini. Legal opinion berpijak pada surat yang dikirimkan oleh Komnas HAM RI kepada Presiden Joko Widodo berisi penolakan atas inisiatif BRIN untuk melakukan integrasi dan pengalihan tugas dan fungsi penelitian Komnas HAM ke dalam lembaga baru yang otonom di bawah presiden tersebut.
“Presiden Joko Widodo harus bersikap dan bertindak tegas untuk menghentikan dan membatalkan segala upaya dan langkah-langkah dalam rangka pengalihan fungsi dan kewenangan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi ke dalam BRIN pada lembaga-lembaga negara independen di luar pemerintah,” bunyi bagian awal pendapat hukum tersebut seperti disampaikan Sekretaris Jenderal Sepaham Indonesia, Cekli Setya Pratiwi, dosen Fakultas Hukum di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Selasa 18 Januari 2022.
Sepaham Indonesia menilai, kontroversi muncul ketika BRIN menafsirkan secara keliru ketentuan Pasal 65 Perpres BRIN. Pengaturan terkait pengalihan dan pengintegrasian tugas, fungsi, dan kewenangan unit kerja yang melaksanakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di lingkungan kementerian/lembaga ke dalam BRIN diasumsikan juga meliputi lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak berada di bawah kewenangan langsung Pemerintah sebagai badan eksekutif.
Padahal, Sepaham Indonesia berpendapat bahwa Pasal 1 dan Pasal 2 Perpres BRIN sangat jelas menyebutkan kedudukan BRIN di bawah Presiden selaku pelaksana kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, integrasi dan pengalihan tugas, fungsi, dan kewenangan pada unit kerja yang melaksanakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 65 Perpres BRIN ini, seharusnya dibaca hanya terbatas pada sesama lembaga yang secara struktural juga berada di bawah Pemerintah saja.
“Apabila langkah kontroversial BRIN sebagaimana terekam dalam surat Komnas HAM kepada Presiden terus dilaksanakan, maka tindakan BRIN telah jauh melampaui kewenangannya yang tidak bisa dibenarkan secara hukum karena bertentangan dengan aturan-aturan hukum yang berlaku,” ujar Cekli.
Bahkan, alumnus Universitas Ultrecht, Belanda, dan Universitas Brigham Young, Amerika Serikat, itu menambahkan, tindakan kontroversial BRIN bisa dimaknai sebagai intervensi Pemerintah terhadap lembaga negara di luar Pemerintah. Dia menyebutnya bentuk kesewenang-wenangan dan abuse of power yang sangat bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi berdasarkan konstitusi Indonesia.
Selain mengingatkan kedudukan BRIN, Sepaham Indonesia juga menyinggung kedudukan Komnas HAM sebagai lembaga negara yang mandiri dan independen. Seperti diatur oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM disebutkan mempunyai kewenangan sendiri, bukan bagian atau tidak berada di bawah Pemerintah.
<!--more-->
Begitu pula fungsi melakukan pengkajian dan penelitian adalah tugas dan fungsi yang diamanatkan oleh Undang-Undang HAM yang bersifat inheren atau melekat dan tidak bisa dipisahkan dari eksistensi Komnas HAM. Fungsi tersebut jadi bagian dari identitas dan karakteristik serta misi Komnas HAM untuk mencapai tujuannya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 7, Pasal 76, dan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang HAM.
“Kami berpendapat bahwa fungsi pengkajian dan penelitian tidak bisa dihilangkan atau diambil alih dari Komnas HAM, terlebih jika hal tersebut dilakukan oleh sebuah lembaga pemerintah, dalam hal ini BRIN, karena bertentangan dengan hukum positif yang berlaku, yakni UU HAM, dan prinsip demokrasi konstitusional Indonesia,” kata Cekli.
Selain UU HAM, kedudukan dan kewenangan Komnas HAM secara atributif juga diatur oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dengan begitu, semua kewenangan yang dimiliki Komnas HAM tidak bisa diubah, diganti dan atau diambil oleh lembaga lain, khususnya jika hal tersebut hanya didasarkan oleh aturan di bawah undang-undang.
“Dalam hal ini Perpres. Hal tersebut dikarenakan adanya prinsip hukum lex superiori derogate legi inferiori (hukum yang lebih tinggi tidak bisa digantikan oleh hukum yang lebih rendah),” kata Cekli lagi.
Selain diatur oleh rezim hukum positif nasional, kedudukan Komnas HAM juga diatur dan didasarkan oleh instrumen hukum internasional. Di antaranya adalah Prinsip-Prinsip Paris, yang dituangkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 48/134 tanggal 20 Desember 1993 tentang Lembaga Nasional untuk Promosi dan Perlindungan HAM (National Institutions for the Promotion and Protection of Human Rights).
Prinsip-Prinsip Paris menegaskan kedudukan lembaga HAM nasional dalam poin tentang ‘Komposisi serta Jaminan Kemandirian dan Keberagaman’ di angka 2. Isinya mewajibkan lembaga nasional HAM harus bebas dari intervensi Pemerintah dan oleh karenanya lembaga tersebut harus memiliki staf dan kantor sendiri dan tidak boleh menjadi objek kontrol secara finansial oleh Pemerintah.
Prinsip-Prinsip Paris juga menegaskan tentang fungsi penelitian yang melekat pada lembaga nasional HAM, yang diatur pada poin tentang “Kompetensi dan Tanggung Jawab” di angka 3.
Berdasarkan semua poin di atas, Sepaham Indonesia menyimpulkan upaya BRIN yang ingin mengalihkan fungsi pengkajian dan penelitian yang dimiliki Komnas HAM, termasuk pengalihan sumber daya peneliti dan anggaran penelitian, sangat bertentangan dengan prinsip, standar, norma dan praktik-praktik hukum yang diatur dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia maupun instrumen hukum internasional.
<!--more-->
“Termasuk berlawanan dengan Perpres BRIN itu sendiri. Semua tindakan BRIN tersebut bisa dibenarkan atau dianggap sah selama dilakukan di antara sesama lembaga di bawah pemerintah sebagai pelaksanaan kekuasaan eksekutif,” kata dia.
Cekli menekankan, fungsi penelitian, pengembangan, pengkajian dan semacamnya yang dimiliki lembaga negara lain di luar pemerintah, seperti yang ada dalam struktur di kekuasaan legislatif (DPR), yudisial (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi), ataupun komisi-komisi nasional seperti Komnas HAM, harus tetap ada dan melekat pada lembaga-lembaga tersebut. Alasannya, menjadi bagian integral dari fungsi lembaga negara yang bersangkutan dan tidak terkait dengan fungsi eksekutif sehingga tidak boleh dialihkan ke dalam BRIN.
Berdasarkan analisis dan kesimpulan tersebut, Sepaham Indonesia merekomendasikan tiga hal kepada Presiden Joko Widodo untuk, pertama, menghentikan dan membatalkan segala upaya dan langkah-langkah yang dilakukan BRIN.
Kedua, jika diperlukan, segera merevisi pengaturan Perpres BRIN. Tujuannya, lebih menegaskan bahwa pengalihan dan pengintegrasian kewenangan dan fungsi penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi ke dalam BRIN sejatinya hanya berlaku untuk lembaga-lembaga di bawah otoritas dan domain pemerintah saja.
Ketiga, meminta Presiden untuk mendukung dan memperkuat kewenangan dan fungsi yang dimiliki lembaga-lembaga di luar domain pemerintah. Presiden Jokowi perlu diingatkan bahwa kewenangan dan fungsi untuk melakukan kegiatan pengkajian, penelitian dan semacamnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari fungsi lembaga-lembaga negara tersebut.
“Itu semua sebagai upaya memperkuat sistem check and balances dalam sistem demokrasi konstitusional yang sehat dan kuat di bawah koridor prinsip negara hukum,” kata Cekli.