Tenggiling menghadapi ancaman terburuk dari para pemburu dan penyelundup di Asia Tenggara. Pejabat urusan satwa liar Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) menyatakan para pelaku jaringan perdagangan ilegal di kawasan itu hanya diganjar dengan hukuman yang tidak setimpal. Kondisi itu diperburuk dengan kurangnya informasi sehingga menyebabkan perdagangan ilegal terus berkembang.
Perdagangan satwa langka, yang dikenal sebagai pemakan semut bersisik itu diperkirakan bakal terus meningkat jika pemerintah negara-negara di kawasan itu tidak mengambil tindakan tegas, kata Chumphon Sukkaseam, pejabat senior Wildlife Enforcement Network ASEAN. "Lebih dari 100 ton daging tenggiling dari Asia Tenggara yang akan diselundupkan ke Cina bisa disita tahun lalu, tapi itu hanya 10 sampai 20 persen dari jumlah daging tenggiling yang sukses diselundupkan ke Cina," katanya.
Chumphon memperingatkan aksi penyelundupan ini akan terus meningkat pada masa mendatang. "Tindakan keras harus diambil karena saat ini tenggiling di Asia Tenggara menghadapi ancaman terburuk dari pemburu dan penyelundup," ujarnya.
Tenggiling adalah satwa asli di hutan-hutan Indonesia, Malaysia, dan wilayah selatan Thailand. Daging tenggiling dianggap sebagai kudapan eksotik di Cina.
Satwa ini diklasifikasikan sebagai spesies dilindungi dalam Convention on International Trade in Endangered Species Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Rute utama penyelundupan tenggiling adalah dari Indonesia ke Malaysia kemudian dibawa ke Thailand menuju Laos atau Vietnam yang berbatasan dengan Cina," katanya.
Chumphon mengatakan masalah utama perdagangan ilegal tenggiling adalah penjagaan perbatasan yang amat lemah antarnegara ASEAN. Kurangnya pertukaran informasi tentang kasus ini yang kurang memadai serta rendahnya denda yang dikenakan bagi penyelundup juga membuat aksi penyelundupan tak terbendung.
Kepala departemen taman nasional dan kehidupan liar Malaysia Abdul Rasid Samsudin menyatakan pemerintah negara itu berencana akan memperkuat undang-undang kehidupan liarnya pada tahun ini.
TJANDRA DEWI | AFP