Apa itu Karbon Biru untuk Antisipasi Pemanasan Global?

Kamis, 17 November 2022 08:07 WIB

Ilustrasi hutan mangrove.

TEMPO.CO, Jakarta - Pemanasan global yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir tak luput dari peran karbon dioksida. Karbon ini sebagian besar dihasilkan dari sisa pembakaran bahan bakar fosil, seperti kendaraan bermotor. Untungnya, lautan dan pantai menyediakan cara alami untuk mengurangi keberadaan karbon di atmosfer bumi.

Mengutip laman oceanservice.noaa.gov, ekosistem laut dan pesisir pantai di seluruh dunia seperti rumput laut, bakau, dan rawa-rawa ternyata memiliki peran menyerap karbon di atmosfer. Karbon yang diserap oleh ekosistem laut ini kemudian disebut sebagai karbon biru. Setelah diserap, sebagian besar senyawa disimpan di dalam tanah. Bahkan sering kali karbon yang ditemukan di tanah pesisir berumur ribuan tahun.

Uniknya, meskipun ukurannya lebih kecil, ekosistem pesisir mampu menyerap karbon jauh lebih cepat daripada hutan. Ini lantaran, menurut penelitian, vegetasi di ekosistem pesisir mampu menyimpan karbon 3 hingga 5 kali lebih besar dari vegetasi di darat. Selain itu, berbeda dengan ekosistem daratan yang cenderung tak bertambah pada saat tertentu, ekosistem pesisir mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam sedimen secara terus-menerus dalam kurun waktu lama.

Baca: Australia dan Tiga Negara Pasifik Jalankan Inisiatif Karbon Biru

Ekosistem Pesisir dan Karbon Biru

Menurut Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat atau AS, penting untuk menjaga eksistensi ekosistem pesisir. Pasalnya, ketika ekosistem ini rusak, sejumlah besar karbon akan dilepaskan kembali ke atmosfer. Akibatnya, selain bank penyimpangan karbon biru hilang, rusaknya ekosistem pesisir justru memperparah kondisi perubahan iklim. Karbon yang dikeluarkan menjadi sumber emisi gas rumah kaca yang signifikan. Oleh sebab itu, melindungi dan memulihkan habitat pesisir adalah cara terbaik mengurangi perubahan iklim.

Advertising
Advertising

Ironisnya, menurut Komisi Oseanografi Antarpemerintah, hampir 50 persen dari lahan basah pesisir global pra-industri telah hilang sejak abad ke-19. Penurunan atau degradasi ini terus berlanjut dengan perkiraan kerugian 0,5 hingga 3 persen per tahun. Penyebab degradasi ini adalah eksploitasi hutan bakau, pembangunan pesisir perkotaan dan industri, polusi, serta alih fungsi lahan pertanian dan akuakultur. Pelepasan karbon biru akibat kerusakan ekosistem pesisir ini diperkirakan mencapai hingga 19 persen emisi dari deforestasi global.

Indonesia seharusnya menjadi negara dengan peranan penting dalam agenda karbon biru. Dikutip dari laman kkp.go.id, hal ini karena Indonesia memiliki estimasi luasan ekosistem mangrove terluas di dunia, yaitu sebesar 3.364.080 hektar pada 2021. Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi luasan ekosistem lamun terluas kedua di dunia setelah Australia yaitu sebesar 832.000 hingga 1.800.000 hektar. Dari potensi luasan lamun tersebut, sebanyak 293.464 hektare luasan lamun telah tervalidasi.

Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, Indonesia memiliki basis sumber daya alam dan potensi karbon biru yang sangat kaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah Indonesia meliputi lebih dari 60 persen dari total wilayah Coral Triangle dunia, terutama didominasi Indonesia bagian timur. Pemerintah saat ini sudah melakukan rehabilitasi mangrove sebagai salah satu program Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN.

“Dengan potensi ekonomi dan ekologi yang sangat besar, kita harus mengatur mindset bahwa Indonesia merupakan negara climate super power,” ujar Sarwono, dalam Diskusi Pojok Iklim oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Rabu, 7 Juli 2021, dikutip dari laman ppid.menlhk.go.id.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

Baca juga: Mengenal Karbon Biru, Ekosistem Penyerap Karbon Selain Hutan

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram http://tempo.co/. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Berita terkait

5 Manfaat Energi Terbarukan yang Harus Dilestarikan

8 jam lalu

5 Manfaat Energi Terbarukan yang Harus Dilestarikan

Energi terbarukan perlu dijaga kelestariannya untuk generasi mendatang karena memiliki beberapa manfaat. Simak 5 manfaat energi terbarukan.

Baca Selengkapnya

Profil Kawasan Wallacea, Surga Biodiversitas yang Diintai Ancaman Kerusakan Lingkungan

23 jam lalu

Profil Kawasan Wallacea, Surga Biodiversitas yang Diintai Ancaman Kerusakan Lingkungan

Kawasan Wallacea seluas 347 ribu kilometer persegi diisi 10 ribu spesies tumbuhan. Sebagian kecil dari jumlah tersebut sudah terancam punah.

Baca Selengkapnya

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

9 hari lalu

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

Salah satu Rukun Tetangga (RT) di wilayah Jakarta Timur kini tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

Baca Selengkapnya

Banjir di Dubai Bukan Disebabkan Teknologi Hujan Buatan, Ini Penjelasan Peneliti BRIN

19 hari lalu

Banjir di Dubai Bukan Disebabkan Teknologi Hujan Buatan, Ini Penjelasan Peneliti BRIN

Dubai terdampak badai yang langka terjadi di wilayahnya pada Selasa lalu, 16 April 2024.

Baca Selengkapnya

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

24 hari lalu

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

Maret 2024 melanjutkan rekor iklim untuk suhu udara dan suhu permukaan laut tertinggi dibandingkan bulan-bulan Maret sebelumnya.

Baca Selengkapnya

Walhi dan Pokja Pesisir Kaltim: Teluk Balikpapan Rusak akibat Pembangunan IKN

25 hari lalu

Walhi dan Pokja Pesisir Kaltim: Teluk Balikpapan Rusak akibat Pembangunan IKN

Walhi dan Pokja Pesisir Kalimantan Timur sebut kerusakan Teluk Balikpapan salah satunya karena efek pembangunan IKN.

Baca Selengkapnya

Dirjen Dikti dan Gunadarma Kick-off Kedaireka 2024

40 hari lalu

Dirjen Dikti dan Gunadarma Kick-off Kedaireka 2024

Era di mana inovasi menjadi pondasi kemajuan, sinergi antara dunia akademik dan industri menjadi faktor penting dalam mendorong kemajuan suatu bangsa.

Baca Selengkapnya

Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

41 hari lalu

Waspada Dampak Penguapan Air Selama Kemarau, Diperkirakan Berlangsung di Jakarta dan Banten pada Juni-Agustus 2024

Fenomena penguapan air dari tanah akan menggerus sumber daya air di masyarakat. Rawan terjadi saat kemarau.

Baca Selengkapnya

Mengenal Kuda Nil Kerdil, Satwa Langka yang Hanya Tersisa Dua Ribu Ekor di Alam

41 hari lalu

Mengenal Kuda Nil Kerdil, Satwa Langka yang Hanya Tersisa Dua Ribu Ekor di Alam

Kelahiran bayi kuda nil kerdil di Yunani mendatangkan harapan bagi spesies langka tersebut.

Baca Selengkapnya

Bappebti Keluarkan Surat Edaran untuk Atur Ekosistem Pasar Fisik Aset Kripto

45 hari lalu

Bappebti Keluarkan Surat Edaran untuk Atur Ekosistem Pasar Fisik Aset Kripto

Bappebti menerbitkan SE yang mengatur tentang optimalisasi ekosistem aset kripto pada penyelenggaraan perdagangan pasar fisik aset kripto di Bursa Berjangka.

Baca Selengkapnya