Delima Silalahi, Penerima Nobel Hijau 2023: Perjuangan Belum Usai
Reporter
Nabiila Azzahra
Editor
Zacharias Wuragil
Minggu, 30 April 2023 09:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi terpilih sebagai salah satu penerima Goldman Environmental Prize 2023. Penganugerahan penghargaan yang dikenal sebagai Nobel Hijau ini diselenggarakan di San Francisco, Amerika Serikat, pada Senin, 24 April 2023
Tiap tahunnya, Goldman Environmental Foundation memberikan penghargaan kepada aktivis lingkungan akar rumput dari enam benua di dunia atas upaya yang signifikan dalam melindungi alam. Mereka dilukiskan sebagai, "ordinary people who take extraordinary actions to protect our planet" dan Delima terpilih untuk wilayah benua kawasan pulau dan negara kepulauan.
Sepak terjang Delima mendapat apresiasi, antara lain berkat advokasi yang dilakukannya, pemerintah Indonesia menetapkan hak pengelolaan atas 7.213 hektare hutan adat kepada enam kelompok masyarakat Tano Batak pada Februari 2022 lalu. “Penghargaannya walaupun atas nama individu tetapi sebenarnya untuk gerakan masyarakat adat di Tano Batak," kata Delima kepada Tempo, 28 April 2023.
Dia menuturkan, dari 7.213 hektare lahan tersebut, 884 hektare merupakan kawasan hutan negara dan 6.333 hektare didapat dari lahan perusahaan pulp dan kertas PT Toba Pulp Lestari (TPL). Perusahaan itu mengambil alih hutan kelola masyarakat untuk dijadikan kebun eukaliptus, yang bukan merupakan tanaman asli setempat dan monokultur. Hal itu mengganggu tumbuhnya jenis pohon penghasil kemenyan (getah kering) yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Tano Batak.
TPL dapat melakukan itu karena sebelumnya tidak ada pengakuan resmi bagi masyarakat adat atas wilayah tersebut. Hingga pada 2012, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 menegaskan bahwa hutan negara tidak termasuk hutan adat. Delima dan KSPPM menggunakan momentum itu untuk memperkuat perjuangan menuntut status kepemilikan atas hutan adat di Tano Batak.
Bersama enam komunitas yang mendiami hutan seputar Danau Toba tersebut, mereka melakukan pemetaan wilayah, menjelaskan aturan hukum yang baru kepada masyarakat adat, dan membangun strategi kampanye.
Bergabung dengan KSPPM
Delima bergabung dengan KSPPM, lembaga yang mendampingi masyarakat adat dalam isu lingkungan dan pemenuhan hak, pada 1999. Dengan latar belakang pendidikan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU), dia mengaku tertarik pada isu sosial dan lingkungan.
Mundur lebih jauh, masa kecil Delima sebagai anak guru banyak dihabiskan dengan bermain di sawah orang lain dan melihat banyak sungai. Dia juga mengakrabi kehidupan teman-temannya yang berasal dari keluarga petani kemenyan. Menurut Delima, mereka yang seharusnya kaya karena mengelola tumbuhan endemik Tano Batak menjadi kian miskin.
"Penghasilannya menurun dari tahun ke tahun sejak adanya PT Indorayon yang kini disebut TPL," kata dia.
Saat kuliah, Delima mulai menyadari banyak sekali persoalan lingkungan di sekitarnya, seperti penebangan liar dan demo besar-besaran untuk menutup PT Indorayon. Hal ini mendorongnya untuk mempelajari dampak perusahaan-perusahaan terhadap hutan adat, yang dia lakukan bersama KSPPM.
Kini, dia sudah beraktivitas selama 23 tahun di KSPPM. Lembaga yang beralamat di Tapanuli Utara ini telah berdiri selama 40 tahun.
Baca halaman berikutnya: merebut kembali hutan adat, peran penting perempuan, dan perjuangan yang belum usai
<!--more-->
Merebut Kembali Hutan Adat
Delima mengatakan bahwa untuk mendapatkan hak atas 7.213 hektare hutan adat merupakan proses panjang. Meskipun dengan Putusan MK No. 35 sebagai dasar hukum, proses pengakuan tidaklah instan. Perlu adanya peraturan daerah (perda) yang mengikutinya, juga pengakuan dari bupati setempat terhadap komunitas adat melalui surat keputusan (SK).
Hal itu yang kemudian turut diperjuangkan oleh KSPPM bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak serta gerakan masyarakat adat dan agraria tingkat nasional. Prosesnya juga dibantu oleh pihak lain, seperti akademisi dalam menyusun naskah akademik dan jurnalis dalam peliputan. “Jadi ini merupakan hasil kerja gerakan masyarakat sipil di Indonesia,” ujar Delima.
Baginya, perjuangan ini adalah milik masyarakat adat. Lembaga-lembaga seperti KSPPM hanya memfasilitasi dengan membantu mengadakan diskusi serta mendokumentasikan sejarah, silsilah, dan peta masyarakat adat. “Jadi, kami hanya membantu mereka, semua strategi mereka yang susun,” ujarnya.
Selain itu, dia menekankan peran penting perempuan yang selalu berada di depan dalam perjuangan hak masyarakat adat Tano Batak. Bagi perempuan Batak, katanya, tanah dan hutan sangat penting. “Perempuan menganggap Bumi sebagai ibu, yang fungsinya tidak hanya produksi tapi juga reproduksi, artinya harus berkelanjutan, diwariskan ke generasi berikutnya,” tuturnya.
Dia menjelaskan bahwa pembagian peran antara perempuan dan laki-laki di masyarakat Batak terganggu karena ruang hidup yang hilang, terutama di kalangan petani kemenyan. Hutan yang menjadi tempat kerja laki-laki hilang, sehingga mereka terpaksa berpindah ke wilayah domestik milik perempuan, contohnya mengurus kebun kopi. Perempuan pun kadang harus menjadi buruh harian lepas di TPL dengan gaji yang tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga.
Tekanan ekonomi ini dinilainya dapat berdampak pada keharmonisan keluarga, hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. “Oleh karena itu, perempuan mendapatkan beban ganda yang berlapis-lapis.”
Sampai saat ini pun perjuangan belum usai. Areal hutan 7.213 hektare yang telah menjadi milik masyarakat adat sedang dalam proses pemulihan yang penuh tantangan. Hal ini, menurut Delima, seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan dan pemerintah. "Tapi masyarakat telah kehilangan kepercayaan dan tidak mau menerima uang TPL," katanya.
Untuk membongkar akar eukaliptus dari dalam tanah, misalnya, membutuhkan biaya sebesar Rp15 juta per hektare. Tanpa biaya yang cukup, masyarakat kini tengah melakukan restorasi lahan sendiri, "Sedikit demi sedikit dengan cara tradisional."
Baca halaman berikutnya: doa dari masyarakat adat jadi sumber kekuatan dan mengira jadi korban penipuan
<!--more-->
Doa dari Masyarakat Adat
Dalam aktivismenya, Delima pada awalnya ditentang oleh keluarga. Pekerjaannya dianggap tidak banyak menghasilkan uang dan cenderung mengancam keselamatan. Bukan hanya ancaman lewat SMS, intimidasi dalam bentuk berita yang menyerang lembaga, kekerasan aparat, dan provokasi untuk membangun ketidakpercayaan tak asing baginya.
“Keluarga awalnya banyak yang menentang, tapi kita harus punya prinsip. Standar kesejahteraan dan kebahagiaan orang berbeda-beda,” tuturnya.
Meski begitu, Delima mengaku terharu karena dia dan keluarga sering didoakan oleh masyarakat adat agar jauh dari bahaya. “Setiap hari kita ke desa, pulangnya selalu kita didoakan. Itu menurutku sangat spesial,” ujarnya. “Memang kalau bekerja seperti ini tidak ada materi yang kita dapatkan, tapi kebahagiaannya ada banyak.”
Mengira Penghargaan Modus Penipuan
Panitia Goldman Environmental Prize menghubungi Delima lewat telepon pada akhir Oktober lalu. Yang dia tangkap, Ada organisasi yang menominasikannya ke panitia yang kemudian melakukan proses seleksi. Delima mengaku tidak tahu tentang proses selebihnya.
“Ketika saya ditelepon, saya pikir itu penipuan karena KSPPM juga nggak tahu sama sekali," kata dia, "Orang-orang yang memberi testimoni juga nggak memberi tahu. Mereka bekerja dengan sangat rahasia, juga punya juri tersendiri.”
Setelah lebih jelas, Delima berdiskusi terlebih dahulu dengan KSPPM dan komunitas, karena baginya ini adalah kerja bersama. "Mereka bilang untuk menerimanya saja, agar jadi penghargaan buat semua," katanya sambil menambahkan selanjutnya mengisi persetujuan untuk menerima penghargaan.
Saat seremoni, Delima mengaku merasa dihargai oleh banyak orang dari komunitas internasional yang juga peduli soal lingkungan. Itu di luar apa yang dibayangkan selama ini bahwa berjuang untuk lingkungan masyarakat adat adalah berjalan di jalan sunyi. "Saya sangat terkejut. Ini di luar ekspektasi saya,” ujarnya.
Delima dan lima pemenang lainnya menerima piala berupa pahatan Ouroboros, ular yang menggigit ekornya sendiri, sebagai simbol pembaruan alami atau kesuburan. Sebagai tambahan dari pengakuan global dan hadiah uang, Delima dkk juga akan mendapatkan akses kepada bantuan hibah, pengembangan jejaring dan profesional, dukungan keselamatan diri, komunikasi strategis, dan peluang berpartisipasi dalam program para pemuda.
Pilihan Editor: Hasil Investigasi BPOM Soal Etil Oksida di Indomie Rasa Ayam Spesial yang Disebut FDA Taiwan Picu Kanker
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.