Berbeda dengan famili tumbuhan lain yang sudah banyak dibudidayakan, sebagian besar famili paku tiang (Cyatheaceae) masih diambil langsung dari alam. Eksploitasi besar-besaran tanpa upaya pembudidayaan ini berisiko mendorong spesies paku tiang ini ke jurang kepunahan. Apalagi beberapa spesies paku memerlukan waktu yang cukup lama untuk tumbuh sehingga mempersulit upaya konservasi.
Peneliti paku dari LIPI, Titin Ng. Praptosuwiryo memberi contoh betapa lamanya waktu yang dibutuhkan paku Tanduk Rusa (Platycerium coronarium) untuk tumbuh dan mengeluarkan daunnya yang tumbuh memanjang mirip tanduk rusa jantan itu. Dia menunjukkan daun paku muda yang baru berdiameter 1 sentimeter yang tergantung di dekat pintu masuk rumah paku di Kebun Raya Bogor. "Hampir setahun baru tumbuh sebesar ini," kata Titin.
Salah satu spesies paku yang banyak dimanfaatkan adalah paku Cyathea contaminan. Akar spesies paku tiang ini digunakan sebagai media tanam dan penyemaian untuk anggrek dan paku lainnya. Meski kondisinya belum dianggap kritis, Cyathea contaminan dari Jawa sudah tak boleh lagi diekspor ke Thailand, Jepang, dan Korea Selatan. "Paku dari Jawa hanya boleh digunakan untuk pasar dalam negeri, hanya dari Sumatera dan Sulawesi yang boleh diekspor," kata Titin.
Pemanfaatan secara besar-besaran tanpa upaya budidaya juga dialami Cibotium barometz atau lebih dikenal dengan pakis monyet. Bonggol keemasan di pangkal batangnya memang sepintas mirip rambut monyet. Rambut atau pili ini dipercaya berkhasiat sebagai obat rematik maupun menghentikan perdarahan. "Tahun ini sekitar satu ton bulu dan rimpangnya diekspor ke Cina," kata Tintin.
Seluruh ekspor yang dilakukan pada 2006, 2007, dan 2008 diambil langsung dari alam, seperti hutan Bengkulu dan Sumatera Barat. Meski pakis monyet juga masuk daftar spesies target, para pakar paku tiang tidak menganggap spesies ini memerlukan tindakan konservasi segera.
TJANDRA