Ramai Isu Badai Matahari, Peneliti Antariksa BRIN Jelaskan Dampaknya ke Bumi

Jumat, 15 Maret 2024 23:07 WIB

Memprediksi Badai Matahari dalam 24 Jam

TEMPO.CO, Jakarta - Matahari kini sedang mendekati fase puncak siklus 11 tahunan. Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Antariksa Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) di Bandung Johan Muhamad mendapati ada banyak badai matahari atau lontaran massa dari korona matahari menjelang fase puncak.

“Tapi tidak semua badai matahari berakibat fatal pada bumi,” ujar Johan di acara daring Dialog, Obrolan, Fakta Ilmiah Populer dalam Sains Antariksa bertopik Riset Matahari dan Aktivitasnya gelaran BRIN, pada Jumat, 15 Maret 2024.

Belakangan ini ramai di media sosial tentang isu badai matahari yang dikaitkan dampaknya ke bumi hingga dianggap sebagai penyebab kiamat. Badai matahari, kata Johan, merupakan istilah dari aktivitas sang surya terkait bintik matahari yang kemunculannya bisa diamati atau dipantau dari bumi.

Pengamatan bintik matahari itu telah dilakukan peneliti astronomi melalui teleskop sejak abad ke-17 hingga sekarang. Bintik matahari merupakan konsentrasi medan magnet yang lebih besar dibandingkan area lain di matahari. Bintik itu juga menjadi tempat yang potensial bagi ledakan di matahari.

Bentuknya ada yang berupa flare, yaitu peningkatan intensitas kecerlangan di matahari sebagai wujud pelepasan energi. Kemudian juga ada yang berupa lontaran massa korona atau coronal mass ejection (CME). ”Kedua fenomena itu yang biasanya punya dampak ke bumi karena melepaskan energi dan massa yang sangat besar sesuai ukuran matahari yaitu satu juta kali lebih besar ukuran bumi,” kata Johan.

Advertising
Advertising

Saat ini menurut Johan, kondisinya sudah mendekati puncak siklus 11 tahunan matahari. “Hampir setiap hari sekarang kita amati ada bintik matahari (sunspot), flare, CME,” katanya.

Dampak badai matahari itu ke bumi misalnya pada jalur komunikasi radio, sinyal navigasi seperti Global Positioning System (GPS) dan Global Navigation Satelite System.(GNSS), serta survei magnetik.

Namun jarak matahari dan bumi tergolong jauh sekitar 150 juta kilometer. Jadi ketika terjadi badai matahari, pelepasan massa dan energinya telah tersebar ke tempat lain. “Bumi sendiri punya pelindung perisai magnetik sehingga cukup aman untuk manusia,” ujarnya.

Sejatinya, siklus itu tidak selalu 11 tahun sekali. Dari hasil data pengamatan sebelumnya yang selama ratusan tahun, puncak siklus matahari bisa terjadi dalam kurun 8, 10 tahun, bahkan bisa lebih sampai 12 atau 13 tahun. Jumlah bintik matahari itu pun beragam, bisa 50, 100, atau 200 sunspot yang menghasilkan pola lain dalam kurun waktu 60 hingga 100 tahun.

ANWAR SISWADI

Baca Juga: Ledakan Beruntun Bintik Matahari Raksasa, Apa Dampaknya ke Bumi?

Berita terkait

Harga Jual Maksimal Rp 1 Juta, Meteran Air Sistem Token Ala Telkom University Siap Menyaingi Produk Swasta

1 jam lalu

Harga Jual Maksimal Rp 1 Juta, Meteran Air Sistem Token Ala Telkom University Siap Menyaingi Produk Swasta

Alat dan perangkat lunak meteran air bersistem token yang dikembangkan Telkom University direncanakan masuk ke pasaran.

Baca Selengkapnya

Antisipasi Bencana Geologi, BRIN Teliti Sebaran Sesar Pemicu Gempa

2 jam lalu

Antisipasi Bencana Geologi, BRIN Teliti Sebaran Sesar Pemicu Gempa

Tim BRIN meneliti sejumlah kondisi geologi yang bisa memicu gempa bumi di Indonesia. Salah satunya soal Sesar Lembang dan sesar lain di sekitarnya.

Baca Selengkapnya

Terdapat 24.000 Sampah Antariksa, Ini Studi BRIN soal Potensi Jatuhnya ke Wilayah Indonesia

6 jam lalu

Terdapat 24.000 Sampah Antariksa, Ini Studi BRIN soal Potensi Jatuhnya ke Wilayah Indonesia

Sampah antariksa saat ini sekitar 24.000. Peneliti BRIN melakukan studi soal potensi jatuhnya ke wilayah Indonesia.

Baca Selengkapnya

Peneliti BRIN Sebut Pernyataan Oposisi Ganjar Berpotensi Jadi Arah PDIP, Ini Alasannya

21 jam lalu

Peneliti BRIN Sebut Pernyataan Oposisi Ganjar Berpotensi Jadi Arah PDIP, Ini Alasannya

Deklarasi Ganjar menjadi oposisi di pemerintahan Prabowo bisa jadi merupakan penegasan arah politik PDIP.

Baca Selengkapnya

Inovasi Meteran Air Sistem Token dari Tim Peneliti di Telkom University

1 hari lalu

Inovasi Meteran Air Sistem Token dari Tim Peneliti di Telkom University

Tim peneliti di Telkom University mengembangkan sistem perangkat lunak dan alat pencatat meteran air bagi kalangan pelanggan perusahaan air minum.

Baca Selengkapnya

Kata Pakar Soal Posisi Koalisi dan Oposisi dalam Pemerintahan Prabowo

1 hari lalu

Kata Pakar Soal Posisi Koalisi dan Oposisi dalam Pemerintahan Prabowo

Prabowo diharapkan tidak terjebak dalam politik merangkul yang berlebihan.

Baca Selengkapnya

Kaji Efek Heatwave Asia, Peneliti BRIN Temukan Hot Spell 40 Derajat di Bekasi

3 hari lalu

Kaji Efek Heatwave Asia, Peneliti BRIN Temukan Hot Spell 40 Derajat di Bekasi

Bukan heatwave yang mengancam wilayah Indonesia. Simak hasil kajian tim peneliti BRIN berikut.

Baca Selengkapnya

Peneliti BRIN Studi Lutesium-177-PSMA untuk Obat Nuklir Kanker Prostat

3 hari lalu

Peneliti BRIN Studi Lutesium-177-PSMA untuk Obat Nuklir Kanker Prostat

Peneliti BRIN Rien Ritawidya mengembangkan studi Lutesium-177-PSMA untuk obat nuklir kanker prostat

Baca Selengkapnya

Satelit NEO-1 Karya BRIN Masuki Tahap Penyelesaian, Diluncurkan Akhir 2024 atau Awal 2025

3 hari lalu

Satelit NEO-1 Karya BRIN Masuki Tahap Penyelesaian, Diluncurkan Akhir 2024 atau Awal 2025

BRIN mengembangkan konstelasi satelit untuk observasi bumi. Satelit NEO-1 kini memasuki tahap penyelesaian akhir.

Baca Selengkapnya

Profil Kawasan Wallacea, Surga Biodiversitas yang Diintai Ancaman Kerusakan Lingkungan

4 hari lalu

Profil Kawasan Wallacea, Surga Biodiversitas yang Diintai Ancaman Kerusakan Lingkungan

Kawasan Wallacea seluas 347 ribu kilometer persegi diisi 10 ribu spesies tumbuhan. Sebagian kecil dari jumlah tersebut sudah terancam punah.

Baca Selengkapnya