Penumpang Singapore Airlines Tewas, Studi Ungkap Turbulensi Dapat Memburuk Seiring Perubahan Iklim
Reporter
Alif Ilham Fajriadi
Editor
Erwin Prima
Rabu, 22 Mei 2024 12:49 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Satu orang tewas akibat serangan jantung saat insiden turbulensi parah di pesawat Singapore Airlines pada Selasa, 21 Mei 2024. Pesawat semula datang dari London dengan tujuan akhir Singapura, namun akibat turbulensi membuat pilot pesawat mengambil keputusan untuk melakukan pendaratan darurat di Bangkok, Thailand.
Bukan hanya korban jiwa, turbulensi dilaporkan membuat sedikitnya 30 orang terluka, namun data ini belum dikonfirmasi oleh pihak maskapai Singapore Airlines. Klip video yang dibagikan di media sosial oleh wartawan di lokasi kejadian menunjukkan kendaraan darurat berbaris di bandara. Pejabat bandara Suvarnabhumi Bangkok turut membenarkan bahwa satu orang meninggal akibat insiden ini.
Pesawat itu bertipe Boeing 777-300ER dengan membawa 211 penumpang dan 18 awak. Dikutip dari Reuters, studi yang diterbitkan 2021 lalu oleh Dewan Keselamatan Transportasi Amerika Serikat, menyatakan bahwa turbulensi pada pesawat menjadi insiden rutin yang menyumbang banyak kejadian dan cedera serius, dalam rentang waktu 2009-2018.
Walaupun menyumbang lebih dari sepertiga kejadian dan sebagian besar mengakibatkan satu atau lebih penumpang cedera serius, akan tetapi turbulensi tidak membawa dampak kerusakan pada pesawat. Studi ini melihat kalau turbulensi fatal dalam perjalanan udara sangat jarang terjadi.
Saat Turbulensi, Penumpang Merasakan Getaran
Semua jenis pesawat bisa terkena turbulensi, tapi dampak serta getaran yang dirasakan bisa berbeda-beda antara pesawat satu dan lainnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh ukuran, ketahanan dan kecepatan pesawat dalam menghadapi insiden turbulensi.
Menurut situs prakiraan turbulensi Swedia, perasaaan yang dialami penumpang bervariasi dari pesawat ke pesawat dan kursi ke kursi. Pesawat panjang bisa merasakan turbulensi paling besar di bagian belakang, sedangkan tempat yang ideal berada di sekitar pusat gravitasi di depan sayap bagian depan.
Pesawat dilengkapi dengan seat belt untuk membawa penumpang tidak merasakan getaran turbulensi parah ketika penerbangan berlangsung. Serikat PIlot dan Pramugari Maskapai Penerbangan AS menyatakan kalau penggunaan seat belt atau sabuk pengaman sangat penting untuk menjaga badan penumpang saat turbulensi terjadi.
Cuaca Buruk Bikin Turbulensi Makin Parah
Serentetan laporan turbulensi telah memicu perdebatan mengenai apakah perubahan iklim mungkin menyebabkan lebih banyak turbulensi. Laporan dari University of Reading tahun lalu menunjukkan bahwa turbulensi dapat memburuk seiring dengan perubahan iklim.
"Proyeksi terbaru kami di masa depan menunjukkan peningkatan turbulensi parah pada aliran jet dalam beberapa dekade mendatang, jika iklim terus berubah seperti yang kita perkirakan," kata Profesor Paul Williams, salah satu penulis di laporan itu.
Walaupun begitu, Williams masih berharap jika iklim di masa depan bisa baik-baik saja dan tidak memperparah kondisi cuaca. Terlebih, menurut dia, penelitian yang dilakukannya ihwal pengaruh iklim terhadap turbulensi masih memerlukan riset-riset terbaru dan mumpuni.
"Masih terlalu dini untuk secara pasti menyalahkan perubahan iklim atas peningkatan turbulensi yang terjadi baru-baru ini. Meningkatnya liputan media, dibantu oleh rekaman video dalam penerbangan dari ponsel penumpang, mungkin menjadi salah satu faktornya," ucap Williams.
Pilihan Editor: Belajar dari Tsunami Aceh, World Water Forum ke-10 Dorong Kolaborasi Peringatan Dini Bencana