BMKG: Waspada Terhadap Potensi Bencana Hidrometeorologi di Jateng Selatan
Reporter
Eiben Heizar
Editor
Dwi Arjanto
Kamis, 11 Juli 2024 22:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengimbau warga di bagian selatan Jawa Tengah untuk waspada terhadap potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan angin kencang yang mungkin terjadi akibat peningkatan curah hujan selama musim kemarau.
"Memang saat ini sudah memasuki musim kemarau, namun hujan masih sering terjadi," kata Kepala Kelompok Teknisi BMKG Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung Cilacap, Teguh Wardoyo, di Cilacap, Minggu.
Teguh menjelaskan, berdasarkan data BMKG, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan curah hujan pada musim kemarau di berbagai wilayah Indonesia.
Untuk wilayah Jawa Tengah, peningkatan curah hujan lebih dipengaruhi oleh aktivitas gelombang atmosfer Rossby Ekuatorial yang aktif di beberapa wilayah Indonesia termasuk Jawa, serta Madden Julian Oscillation (MJO) yang berada pada fase 3 (Samudra Hindia) yang berkontribusi terhadap pembentukan awan hujan di Indonesia.
Selain itu, adanya daerah perlambatan kecepatan angin (konvergensi) yang memanjang dari Laut Jawa hingga Lampung-Sumatera Selatan dan Jawa Tengah hingga Jawa Barat-Banten juga meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sepanjang daerah konvergensi tersebut.
Peningkatan kecepatan angin hingga lebih dari 25 knot di Samudra Hindia selatan Jawa juga dapat meningkatkan tinggi gelombang di wilayah perairan tersebut.
Intrusi udara kering dari belahan bumi selatan yang melintasi perairan selatan Jawa Tengah-Jawa Timur mampu mengangkat uap air basah di depan batas intrusi, menjadikannya lebih hangat dan lembap di sebagian wilayah Jawa dan Laut Jawa. Ditambah lagi dengan labilitas lokal yang kuat mendukung proses konvektif pada skala lokal di wilayah Jawa Tengah.
"Oleh karena itu, hujan dengan intensitas sedang hingga lebat yang disertai petir dan angin kencang masih berpotensi terjadi di wilayah Jawa Tengah, khususnya bagian selatan," kata Teguh.
Teguh mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dan melakukan antisipasi dini terhadap potensi cuaca ekstrem, seperti hujan lebat dalam durasi singkat yang disertai petir dan angin kencang.
Khusus untuk daerah rawan bencana hidrometeorologi, Teguh menyarankan agar masyarakat waspada terhadap dampak cuaca ekstrem seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, jalan licin, pohon tumbang, dan berkurangnya jarak pandang.
Apa Itu Bencana Hidrometeorologi?
Bencana hidrometeorologi merujuk pada peristiwa bencana alam atau proses merusak yang terjadi di berbagai lapisan atmosfer (meteorologi), perairan (hidrologi), atau lautan (oseanografi). Bencana ini muncul akibat perubahan dalam parameter-parameter meteorologi, seperti pola curah hujan, tingkat kelembaban udara, variabilitas suhu, dan karakteristik angin.
Keberadaan bencana hidrometeorologi menyebabkan dampak yang merugikan dalam berbagai aspek kehidupan. Dampak tersebut melibatkan kehilangan nyawa, luka-luka, kerusakan pada properti dan infrastruktur, gangguan dalam aspek sosial dan ekonomi masyarakat, serta berpotensi menimbulkan degradasi lingkungan.
Proses terjadinya bencana hidrometeorologi kompleks dan dipengaruhi oleh faktor-faktor alam dan manusia. Perubahan iklim yang semakin nyata turut memperkuat frekuensi dan intensitas bencana ini, membuatnya menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan dan ketahanan masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang pola hidrometeorologi, pemantauan kondisi atmosfer, dan penerapan langkah-langkah mitigasi diperlukan untuk meminimalkan dampak negatif yang dapat diakibatkan oleh bencana ini. Upaya kolaboratif dalam pengembangan sistem peringatan dini dan peningkatan kapasitas adaptasi juga menjadi esensial dalam menghadapi tantangan kompleks yang dihadirkan oleh bencana hidrometeorologi.
Contoh Bencana Hidrometeorologi
1. Curah Hujan Ekstrem
Curah hujan ekstrem seringkali dipicu oleh pertumbuhan awan konvektif masif, khususnya cumulonimbus, yang mencapai ketinggian atmosfer yang signifikan. Selain curah hujan tinggi, fenomena ini juga dapat disertai dengan angin kencang, hujan es, dan bahkan potensi terjadinya puting beliung. Pertumbuhan awan konvektif yang masif ini menjadi katalisator utama dari peristiwa curah hujan ekstrem yang berdampak besar pada lingkungan dan masyarakat di sekitarnya.
Dalam konteks curah hujan ekstrem, penting untuk memahami bahwa intensitas dan durasi curah hujan memiliki peran krusial dalam menentukan tingkat dampak. Peningkatan intensitas curah hujan dapat menyebabkan genangan air, banjir, dan bahkan tanah longsor. Sementara itu, durasi curah hujan yang lama dapat meningkatkan risiko terjadinya banjir yang signifikan.
2. Angin Kencang
Angin kencang, yang terjadi ketika kecepatan angin melebihi 27,8 km/jam, seringkali dikaitkan dengan pergerakan massa udara dari wilayah ber tekanan udara tinggi ke wilayah ber tekanan udara rendah. Angin kencang dapat terjadi secara tiba-tiba dan sering disebut sebagai gusty, terutama dalam konteks pertumbuhan awan cumulonimbus yang dapat mengakibatkan perubahan yang cepat dalam kondisi atmosfer.
Fenomena angin kencang tidak hanya membawa dampak secara langsung, seperti kerusakan pada struktur bangunan dan pohon, tetapi juga dapat memperparah kondisi cuaca ekstrem lainnya, seperti hujan deras. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang pola angin dan pertumbuhan awan menjadi kunci untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi bahaya yang diakibatkan oleh angin kencang.
3. Banjir
Banjir adalah fenomena alam yang melibatkan luapan air yang merendam tanah yang biasanya kering. Banjir dapat dipicu oleh berbagai faktor, termasuk limpahan air dari sungai, danau, atau laut akibat kerusakan tanggul, serta akumulasi air hujan di tanah yang sudah jenuh. Dampak banjir melibatkan kerugian yang signifikan, seperti kehilangan nyawa, kerusakan harta benda, dan gangguan dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Banjir juga dapat memiliki dampak jangka panjang, termasuk kerusakan ekosistem dan kualitas tanah. Oleh karena itu, mitigasi banjir melibatkan pemahaman mendalam tentang sistem perairan, drainase, dan pengelolaan lahan, serta penerapan langkah-langkah preventif dan adaptif.
4. Kekeringan
Kekeringan adalah fenomena terkait dengan defisit curah hujan dalam periode tertentu. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan kelembapan tanah yang berpotensi merusak tanaman dan mempengaruhi ketahanan pangan. Kekeringan juga dapat memiliki dampak signifikan pada sumber daya air dan dapat memicu konflik terkait akses ke air bersih.
Mitigasi kekeringan melibatkan pemantauan curah hujan, manajemen sumber daya air yang berkelanjutan, dan langkah-langkah adaptif dalam menjaga ketersediaan air untuk keperluan berbagai sektor, termasuk pertanian, industri, dan pemukiman.
5. Kualitas Udara yang Buruk
Kualitas udara yang buruk seringkali terkait dengan tingginya tingkat polusi udara, yang dapat disebabkan oleh asap, debu, dan kabut pengotor udara. Penilaian kualitas udara didasarkan pada konsentrasi polutan udara tertentu dan dapat memengaruhi kesehatan manusia, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.
Dampak kesehatan yang mungkin timbul dari kualitas udara yang buruk mencakup masalah pernapasan, penyakit kardiovaskular, dan masalah kesehatan lainnya. Oleh karena itu, pemantauan kualitas udara, pengendalian emisi polutan, dan edukasi masyarakat tentang risiko kesehatan yang terkait dengan polusi udara menjadi kunci dalam menjaga kualitas udara yang baik.
BMKG | ANTARA | UGM | BULELENGKAB
Pilihan editor: