Perceraian Massal di Gresik Dipicu Judi Online, Psikolog UI: Berdampak Suka Bohong dan Gangguan Emosi
Reporter
Alif Ilham Fajriadi
Editor
Erwin Prima
Kamis, 18 Juli 2024 15:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Baru-baru ini jagat maya dihebohkan dengan peningkatan kasus perceraian yang terjadi di Kabupaten Gresik yang dominan disebabkan oleh aktivitas judi online. Data dari Pengadilan Agama Gresik mencatat sedikitnya ada 842 pasangan suami-istri yang mengakhiri hubungan rumah tangga sepanjang Januari-Juli 2024.
Psikolog dari Universitas Indonesia (UI) Tjut Rifameutia Umar Ali mengakui bahwa aktivitas judi online menjadi indikator penyebab perceraian dan rusaknya hubungan rumah tangga. Kondisi ini disebabkan oleh dampak judi online yang berujung pada sifat suka berbohong dan emosi tidak stabil akibat stres akan kekalahan.
"Seseorang melakukan judi, terus-menerus berlangsung, disebut adiksi atau kecanduan. Ada goals yang dia tuju. Dia pikir akan memperoleh keberuntungan tetapi gagal. Lalu uang yang dipunya habis, akhirnya sering marah dan berbohong kepada keluarga," ujar Tia saat dihubungi Tempo, Rabu, 17 Juli 2024.
Menurut Tia, seseorang yang terjerumus ke judi online bermula dari lingkungan dan pergaulannya yang banyak melakukan aktivitas ini. Faktor penunjang lainnya juga berasal dari sosial media yang kerap menampilkan barang-barang mewah dan membuat keinginan masyarakat kelas menengah ke bawah untuk memilikinya juga.
"Para penjudi ini menganggap cara paling mudah untuk mendapatkan uang dan sejenisnya itu lewat judi online. Mereka memikirkan yang enak-enaknya saja, menghayal akan menang dan sering lupa waktu," ucap Tia, sembari menyebut, "Ketika berjudi, pasangan (suami atau istri) akan sering tidak berada di rumah dan sibuk di luar. Kadang keluarga menjadi tidak dipikirkan karena efek adiksi atau kecanduan."
Selain pergaulan, judi online juga bermula akibat tidak adanya pertahanan atau keyakinan pada diri suatu individu. Menurut Tia, setiap manusia sangat dan diharuskan mempunyai satu pegangan dalam hidupnya, bisa jadi iman, keyakinan, kepercayaan atau sejenisnya. Cara-cara serupa ini disebut Tia dapat menangkal atau meminimalisir diri seseorang terbuai akan kecanduan yang merugikan tersebut.
"Dari sisi ilmiahnya, judi online ini bermula dari pergaulan yang tidak sehat, atau dari dorongan diri seseorang yang menginginkan sesuatu secara instan. Lalu dari sisi keagamaannya, juga ada faktornya, yaitu kurangnya benteng diri atau iman," ucap Tia melalui sambungan seluler.
Judi online dapat membuat keharmonisan di keluarga berkurang. Fakta ini, menurut Tia, dipicu dari tidak terciptanya perasaan saling memiliki dan melengkapi karena salah satu pasangan terus berbohong. Misalnya dari segi finansial atau aktivitasnya di luar rumah. Tia menyebut judi online memerlukan uang atau sejenisnya untuk dikeluarkankan, sedangkan ketika berumah tangga, keuangan dalam keluarga harus diketahui kedua belah pihak.
"Jadi ketika ditanya-tanya terus, kemana duit ini? Kamu kemana saja kemarin? itu akan membuat penjudi merasa tertekan dan berujung emosi. Ini juga awal mula dari kekerasan dalam rumah tangga. Karena dia merasa stres akibat kalah, misalnya, lalu dapat pertanyaan yang menurut dia terkesan menekan," ujar Tia.
Sejauh pengamatan Tia, judi online untuk saat sekarang lebih didominasi oleh para suami atau laki-laki. Tia belum menemukan adanya kasus secara massal yang memperlihatkan perempuan ikut menjadi bagian dari aktivitas judi online dan menyebabkan perceraian. Kendati demikian, dia menyebut kecanduan judi online bukan hanya bisa terjadi pada laki-laki, melainkan perempuan juga berpotensi untuk menjadi korbannya.
"Komitmen bersama itu diperlukan, judi online ini memang merusak dan membuat kerugian. Saya menilai kalau judi online tidak bisa diatasi hanya dengan nasihat atau kata-kata saja, ini perlu diterapi dan dukungan banyak pihak serta dorongan dari diri pemain itu sendiri," ujar Tia.
Pilihan Editor: Inilah Daftar Ponsel yang Tidak Dapat Menggunakan WhatsApp Per Juli 2024