Hangatnya perairan Indo-Pasifik di sekeliling Indonesia pada masa lalu itu diketahui lewat program rekonstruksi temperatur permukaan laut dari Indo-Pacific Warm Pool (IPWP). Studi ini mengungkap bahwa temperatur di kawasan itu saat ini sama hangatnya dengan periode hangat zaman pertengahan.
IPWP adalah kolam air hangat terbesar di dunia, terentang dari Samudra Hindia tropis sebelah timur sampai Samudra Pasifik tropis di bagian barat. IPWP memiliki temperatur permukaan laut terpanas, sekitar 28 derajat Celsius, sehingga kawasan itu merupakan sumber panas dan kelembapan terbesar bagi atmosfer dunia.
Kawasan yang meliputi perairan Indonesia ini adalah komponen penting iklim planet Bumi. Pemodelan iklim menunjukkan bahwa temperatur rata-rata global amat sensitif terhadap temperatur muka laut di IPWP. Memahami sejarah masa lalu kawasan itu memiliki arti yang amat penting untuk menempatkan kecenderungan pemanasan dalam konteks global.
Hasil studi bersama ilmuwan Indonesia-Amerika Serikat ini dipublikasikan dalam jurnal Nature terbaru. Dalam proyek gabungan dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Delia Oppo, paleo-oseanografer di Woods Hole Oceanographic Institution mengikutsertakan rekannya, Yair Rosenthal dari Rutgers State University serta Braddock K. Linsley dari University at Albany-State University of New York.
Mereka mengumpulkan inti sedimen sepanjang tepi landas kontinen perairan Indonesia dan menggunakan analisis kimia untuk memperkirakan temperatur air pada masa lalu berikut usia sedimen tersebut. Pelayaran untuk mengumpulkan inti sedimen itu melibatkan 14 peneliti Indonesia dan 13 ilmuwan Amerika Serikat. "Ini adalah rekaman pertama dari kawasan yang memiliki sedimen modern sekaligus rekaman dari dua milenia yang lalu," kata Oppo. "Hal itu memungkinkan kami menempatkan tren masa kini dalam bingkai kerja yang lebih besar."
Fadly Syamsudin, pakar oseanografi di BPPT yang ikut terlibat dalam survei kelautan di atas kapal riset Baruna Jaya VIII itu, mengungkapkan bahwa pengambilan sampel sedimen dilakukan di beberapa titik. Beberapa titik yang menjadi lokasi sampel adalah Selat Makassar, terutama Teluk Majene, dan Laut Halmahera. Survei selama 32 hari ini berlangsung sekitar 2002.
Sebelum sedimen laut digunakan untuk mengungkap temperatur masa lalu, para ilmuwan hanya mengandalkan catatan temperatur global yang direkonstruksi dari cincin kambium pohon dan inti es. Hanya sedikit data samudra yang digunakan untuk melakukan rekonstruksi temperatur, dan lebih sedikit lagi data dari daerah tropis. "Sebagai paleoklimatolog, kami bekerja untuk mengumpulkan informasi dari berbagai sumber berbeda untuk meningkatkan keyakinan terhadap hasil rekonstruksi temperatur global yang kami kerjakan, serta berkontribusi pada upaya ilmuwan lain dalam mencapai tujuan itu," kata Oppo.
Rekonstruksi temperatur menunjukkan bahwa belahan bumi bagian utara ada kemungkinan sedikit lebih dingin, sekitar 0,5 derajat Celsius, selama periode hangat abad pertengahan(800-1300 SM), daripada akhir abad ke-20. Meski demikian, rekonstruksi temperatur ini sebagian besar tetap dibuat berdasarkan data yang dikompilasi dari catatan cincin kambium pohon dan inti es dari belahan bumi utara. Baru sedikit data temperatur prasejarah dari kawasan tropis seperti IPWP yang dimasukkan dalam analisis tersebut, sehingga rentang temperatur hangat global selama interval ini masih belum jelas.
Hasilnya, kesimpulan tentang temperatur global masa lalu masih memiliki sejumlah ketidakpastian. "Walaupun ada sejumlah ketidakpastian yang signifikan pada rekonstruksi yang kami lakukan, pekerjaan kami memicu gagasan bahwa rekonstruksi temperatur belahan bumi utara sekalipun perlu diperhatikan dengan lebih teliti."
Rekonstruksi temperatur IPWP berbasis data kelautan ini dalam banyak hal mirip rekonstruksi temperatur menggunakan data daratan dari belahan bumi utara, semisal cincin kambium dan inti es. Kecenderungan utama yang diobservasi pada rekonstruksi temperatur, termasuk pendinginan selama masa Zaman Es Kecil, sekitar 1500-1850 SM, dan pemanasan selama akhir abad ke-20, juga diobservasi dalam IPWP. "Hasil paling menarik sekaligus berpotensi memancing kontroversi adalah data kami mengindikasikan bahwa temperatur permukaan air selama periode hangat zaman pertengahan mirip dengan temperatur saat ini," kata Oppo.
Rekonstruksi temperatur belahan bumi utara yang dilakukan proyek bersama Indonesia-Amerika Serikat itu juga menunjukkan bahwa peningkatan temperatur dalam periode waktu itu berlangsung antara 1000-1250 SM, namun tidak sehangat temperatur modern sekarang ini. "Hasil studi kami untuk periode waktu ini amat kontras dengan rekonstruksi belahan bumi utara," kata Oppo.
Kemiripan tren antara rekonstruksi belahan bumi bagian utara dan IPWP secara keseluruhan memperlihatkan bahwa suhu permukaan air laut Indonesia berkorelasi terhadap temperatur udara dan muka laut global. Di sisi lain, temuan bahwa temperatur permukaan laut IPWP tampaknya serupa dengan pada 2000 tahun lampau, pada suatu masa ketika temperatur rata-rata belahan bumi utara tampaknya jauh lebih dingin daripada hari ini, menunjukkan perubahan yang saling berhubungan antara IPWP dan belahan bumi utara atau temperatur global telah terjadi pada masa lalu, untuk sebuah alasan yang belum dapat sepenuhnya dimengerti. "Pekerjaan ini menunjukkan arah pertanyaan yang harus kami tanyakan," ujar Oppo. "Ini baru kata pertama, bukan kata penutup."
l TJANDRA DEWI | SCIENCEDAILY | WHOI