Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keindahan Fosil Kumbang Berusia 49 Juta Tahun

Reporter

Editor

Erwin Prima

image-gnews
Fosil Pulchritudo attenboroughi (kiri). Hasil rekonstuksi digital (kanan). Kredit: Denver Museum of Nature and Science
Fosil Pulchritudo attenboroughi (kiri). Hasil rekonstuksi digital (kanan). Kredit: Denver Museum of Nature and Science
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Para ilmuwan melaporkan fosil seekor kumbang yang hidup sekitar 49 juta tahun yang lalu sangat terpelihara dengan baik sehingga serangga itu terlihat seperti dapat menyebarkan penutup sayapnya yang bermotif mencolok.

Penutup sayap, atau elytra, adalah salah satu bagian paling kuat dari kerangka luar kumbang, tetapi meskipun demikian, tingkat kontras warna dan kejelasan dalam fosil ini sangat jarang, para ilmuwan baru-baru ini melaporkan, sebagaimana dikutip Live Science, Sabtu, 14 Agustus 2021.

Desain indah pada elytra kumbang kuno itu mendorong para peneliti untuk menamakannya Pulchritudo attenboroughi, atau Kecantikan Attenborough, meniru nama naturalis terkenal dan pembawa acara televisi Sir David Attenborough. Mereka menulis dalam sebuah studi baru bahwa polanya adalah "pewarnaan berbasis pigmen yang paling terawetkan yang dikenal pada fosil kumbang."

Ketika para peneliti menggambarkan keindahan kumbang itu, fosil itu sudah ada di koleksi Museum Alam dan Sains Denver (DMNS) di Colorado, di mana ia telah dipajang sejak diidentifikasi pada tahun 1995.

Ahli paleontologi menemukan fosil tahun tersebut di Green River Formation; dulunya sekelompok danau, situs fosil yang kaya ini membentang di Colorado, Wyoming dan Utah, dan berasal dari zaman Eosen (55,8 juta hingga 33,9 juta tahun yang lalu).

Para ilmuwan awalnya mengklasifikasikan fosil tersebut sebagai kumbang bertanduk panjang dalam genus Cerambycidae. Tetapi meskipun bentuk tubuhnya mirip dengan kumbang bertanduk panjang, kaki belakangnya sangat pendek dan gemuk, yang membuat kurator senior entomologi museum - Frank-Thorsten Krell, penulis utama studi baru - mempertanyakan apakah kumbang itu mungkin milik kelompok yang berbeda.

Dalam studi tersebut, penulis menggambarkan kumbang itu sebagai genus baru dalam subfamili yang dikenal dengan kaki belakangnya yang kuat: kumbang daun berkaki katak. Serangga fosil itu, betina, hanyalah contoh kedua dari kumbang daun berkaki katak yang ditemukan di Amerika Utara, kata Krell kepada Live Science (tidak ada kumbang modern dalam kelompok ini yang hidup di Amerika Utara saat ini, menurut penelitian tersebut).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di punggung P. attenboroughi, pola lingkaran gelap dan simetris menonjol dalam kontras tajam dengan latar belakang terang. Hal ini menunjukkan bahwa pola berani hadir pada kumbang setidaknya 50 juta tahun yang lalu, para peneliti melaporkan.

Agar kumbang dapat memfosil sebaik yang ini, "Anda membutuhkan sedimen berbutir sangat halus," kata Krell. Lumpur atau tanah liat di dasar danau adalah substrat terbaik untuk membuat fosil serangga, dan kumbang harus segera tenggelam ke dasar danau yang berlumpur sebelum tubuhnya hancur. "Dan kemudian seharusnya tidak membusuk, sehingga lingkungan yang miskin oksigen di dasar danau sangat membantu," katanya.

Namun, masih ada pertanyaan tentang bagaimana sedimen di dasar danau mempertahankan warna kontras tinggi kumbang dengan begitu jelas, tambah Krell. Pengunjung DMNS dapat mengagumi P. attenboroughi, karena fosil yang telah diganti namanya itu kembali dipajang di pameran "Perjalanan Prasejarah" museum itu, kata perwakilan dalam sebuah pernyataan. Temuan ini dipublikasikan 6 Agustus di jurnal Papers in Paleontology.

LIVE SCIENCE | EZ

Baca:
Video Merekam Kemampuan Serangga Ini Berjalan di Balik Permukaan Air

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Peneliti Khawatir Berang-berang di DAS Ciliwung Terancam Punah, Kotorannya Mengandung Bioplastik

5 jam lalu

Personel pemadam Kebakaran Kota Depok usai mengevakuasi seekor berang-berang yang masuk ke sumur warga di RT. 3, RW. 13, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Tapos, Depok, Senin, 10 Juli 2023. Foto: Damkar Depok
Peneliti Khawatir Berang-berang di DAS Ciliwung Terancam Punah, Kotorannya Mengandung Bioplastik

Berang-berang semakin sulit ditemukan di Sungai Ciliwung.


Temuan Peneliti MIT Mengklaim AI Telah Mempelajari Cara Menipu Manusia

2 hari lalu

Ilustrasi kecerdasan buatan atau AI. Dok. Shutterstock
Temuan Peneliti MIT Mengklaim AI Telah Mempelajari Cara Menipu Manusia

Kemampuan sistem AI ini dapat melakukan hal-hal seperti membodohi pemain game online atau melewati captcha.


Badai Geomagnetik Picu Gangguan Sinyal di Indonesia dan Dunia, Begini Kata Peneliti BRIN

2 hari lalu

Badai matahari dikabarkan akan menghantam bumi pada akhir tahun 2023? Kenali apa itu badai matahari di artikel ini. Foto: Canva
Badai Geomagnetik Picu Gangguan Sinyal di Indonesia dan Dunia, Begini Kata Peneliti BRIN

Ilmuwan NOAA mendeteksi badai geomagnetik terbaru yang terjadi pada 11 Maret 2024 dan dampaknya diperkirakan berlanjut hingga Mei ini.


Potensi Gempa Sesar Lembang, Peneliti BRIN Sebut Tingkat Ancaman Besar Karena Dangkal

3 hari lalu

BNPB memasang rambu peringatan  keberadaan sesar atau patahan di lokasi  Sesar Lembang, utara Bandung, Jumat, 26 April 2019. (Tempo/Anwar Siswadi)
Potensi Gempa Sesar Lembang, Peneliti BRIN Sebut Tingkat Ancaman Besar Karena Dangkal

Sampai kedalaman 4,5 meter tanah ditemukan empat kejadian gempa yang berkaitan dengan Sesar Lembang


Suhu Bumi Terpanas pada April 2024

7 hari lalu

Ilustrasi gelombang panas ekstrem.[Khaleej Times/REUTERS]
Suhu Bumi Terpanas pada April 2024

Sejak Juni 2023, setiap bulan temperatur bumi terus memanas, di mana puncak terpanas terjadi pada April 2024.


Peneliti Unair Temukan Senyawa Penghambat Sel Kanker, Raih Penghargaan Best Paper

12 hari lalu

Peneliti muda yang merupakan mahasiswa doktoral Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga (Unair), Muhammad Ikhlas Abdjan. Dok. Humas Unair
Peneliti Unair Temukan Senyawa Penghambat Sel Kanker, Raih Penghargaan Best Paper

Peneliti Unair berhasil mengukir namanya di kancah internasional dengan meraih best paper award dari jurnal ternama Engineered Science.


Teknologi Roket Semakin Pesat, Periset BRIN Ungkap Tantangan Pengembangannya

12 hari lalu

Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Teknologi Roket, Rika Andiarti bersama teknologi roket hasil karya BRIN. Dok. Humas BRIN
Teknologi Roket Semakin Pesat, Periset BRIN Ungkap Tantangan Pengembangannya

Sekarang ukuran roket juga tidak besar, tapi bisa mengangkut banyak satelit kecil.


Ketergantungan Impor 99 Persen, Peneliti BRIN Riset Jamur Penghasil Enzim

13 hari lalu

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Mikrobiologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dede Heri Yuli Yanto. Dok. Humas BRIN
Ketergantungan Impor 99 Persen, Peneliti BRIN Riset Jamur Penghasil Enzim

Di Indonesia diperkirakan terdapat 200 ribu spesies jamur, yang di antaranya mampu memproduksi enzim.


Poster Resmi Vivo X100 dan X100 Ultra Dirilis, Ini Detailnya

13 hari lalu

vivo ekspansi bisnis ke 6 negara Eropa.
Poster Resmi Vivo X100 dan X100 Ultra Dirilis, Ini Detailnya

Kabarnya Vivo X100s akan memiliki kamera yang sama dengan Vivo X100 yang debut pada November tahun lalu.


Lima Besar Penyakit Akibat Polusi Udara di Indonesia, Apa Saja?

13 hari lalu

Foto aerial kondisi polusi udara di kawasan Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara, Rabu, 13 Desember 2023. Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir pada Rabu, konsentrasi polutan particulate matter 2.5 (PM2,5) di Jakarta sebesar 41 mikrogram per meter kubik dan berada di kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif karena polusi. ANTARA/Iggoy el Fitra
Lima Besar Penyakit Akibat Polusi Udara di Indonesia, Apa Saja?

Polusi udara yang erat kaitannya dengan tingginya beban penyakit adalah polusi udara dalam ruang (rumah tangga).