Bayar Dosa Negara Utara ke Selatan

Reporter

Editor

Senin, 1 Maret 2010 07:04 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Diskusi di milis rimbawan interaktif pada Februari lalu ini ramai dengan komentar soal Rancangan Peraturan Menteri Kehutanan dan Tata Ruang Wilayah, yang akan memasukkan perkebunan kelapa sawit sebagai wilayah hutan. "Dalam waktu dekat, ekosistem hutan kita akan bertambah lagi dengan ditemukannya ekosistem hutan sawit," tulis seorang anggota milis dengan nada sinis.

Anggota lain yang berprofesi sebagai dosen juga tidak ketinggalan ikut berkomentar. "Para dosen se-Indonesia perlu mengubah silabus mata kuliah dasar dan lanjutan yang berkaitan dengan ilmu kehutanan serta merevisi buku ajar, he-he," katanya. Sebagian besar anggota milis itu menyayangkan rancangan peraturan menteri tersebut yang dinilai sebagai tragedi.

Pada saat yang bersamaan, nun jauh di Brussels, dokumen milik Komite Eksekutif Komisi Eropa bocor ke publik. Dokumen itu menggambarkan rencana Komisi Eropa dan beberapa negara anggota Uni Eropa mendefinisikan kembali perkebunan kelapa sawit sebagai "hutan". Menurut mereka, perubahan dari hutan ke perkebunan kelapa sawit bukan pelanggaran. Komisi ini menawarkan bimbingan kepada anggota untuk menggunakan biofuel yang telah diklasifikasikan dari perkebunan sawit.

Beberapa hari kemudian European Commissions's Science for Environment Policy melansir hasil penelitian pada News Alert dengan judul "Harga Karbon Tidak Cukup Menyelamatkan Hutan Tropis dari Deforestasi". Meletakkan harga pada karbon ternyata tak mungkin mencegah hutan ditebang untuk perkebunan kelapa sawit. Harga karbon yang lebih tinggi malah memacu peningkatan permintaan untuk biofuel, sebagai alternatif bahan bakar fosil yang mahal. Pada gilirannya, meningkatkan harga biofuel dan hutan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Pada saat ini, PBB mendefinisikan hutan sebagai lahan di atas 500 meter persegi dengan penutup kanopi seluas 10 persen, di mana ada pohon tumbuh dengan ketinggian 2 meter. Definisi tersebut pada kenyataannya gagal mengatasi konversi hutan alami untuk industri perkebunan monokultur, seperti kelapa sawit.

Advertising
Advertising

Dokumen Komisi Eropa itu berpendapat, karena perkebunan kelapa sawit cukup tinggi dan cukup teduh, mereka dianggap sebagai hutan. "Wilayah hutan didefinisikan sebagai daerah di mana pohon telah mencapai atau dapat menjangkau, setidaknya ketinggian 5 meter, membuat mahkota penutup lebih dari 30 persen," tulis dokumen itu. Wilayah ini, dia menambahkan, meliputi hutan, perkebunan, dan hutan pohon lainnya, seperti perkebunan kelapa sawit.

Keinginan memasukkan perkebunan kelapa sawit sebagai hutan jelas bias ekonomi. Di bawah EU's Renewable Energy Directive, 10 persen dari semua bahan bakar angkutan kendaraan bermotor harus berasal dari "energi terbarukan" pada 2020. Ketentuan yang dibuat pada 2008 ini mendorong ekspansi besar-besaran di bidang perkebunan kelapa sawit untuk biofuel di Malaysia, Indonesia, dan sejumlah negara produsen lainnya. NGO melakukan protes terhadap aturan tersebut karena berakibat pada hancurnya hutan dan meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca.

Bias yang sama juga terjadi di Tanah Air. Kabarnya, peraturan ini digodok di Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan dan Tata Ruang Wilayah. Mereka merujuk pada definisi Food and Agricultural Organization (FAO). Badan PBB urusan pangan dan pertanian ini menyatakan bahwa kebun tetap merupakan kawasan hutan. Malaysia lebih dulu menggunakan definisi FAO ini. "Buat kehutanan, akan ada kenaikan investasi. Namun kalau komoditas dicatat oleh Badan Pusat Statistik masuk Pertanian kan tidak masalah," kata Hadi Daryanto, Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan.

Masuknya perkebunan kelapa sawit ke hutan, kata Hadi pada pers, akan ada mozaik, antara lain 70 persen berupa tanaman pokok, 25 persen tanaman kehidupan, dan 5 persen tanaman pangan. Dengan mozaik itu, akan ada kawasan lindung yang ditujukan untuk pelestarian dan perlindungan satwa, sehingga wawasan lingkungan akan lebih kuat. Menurut dia, ketentuan ini diberlakukan untuk investasi kelapa sawit yang baru dan kepada regenerasi dari investasi yang sudah jalan.

Penjelasan senada diungkapkan oleh Kepala Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan dan Tata Ruang Wilayah Tachrir Fathoni. "Hal ini untuk mengantisipasi pelaksanaan skema REDD," katanya. Menurut dia, Malaysia telah memasukkan perkebunan kelapa sawit ke dalam sektor hutan. Negeri jiran itu, katanya, dapat menuai insentif keuangan UNFCCC dari perdagangan karbon. Insentif keuangan yaitu penebangan hutan dan menggantinya dengan kelapa sawit monokultur.

Mashyud, Kepala Pusat Informasi Kehutanan, menolak jika pihaknya disebut mengubah definisi hutan. Menurut dia, rencana itu merupakan masalah dan sudah dibahas sejak 1999. Ketika itu, ada surat keputusan tentang hutan campuran. Saat ini, katanya, dijajaki dan didalami kembali kemungkinan-kemungkinan itu. Namun hutan campuran, dia menambahkan, bukan eksplisit untuk perkebunan sawit.

Aliansi Masyarakat Peduli Hutan (Ampuh) menolak rencana Kementerian Kehutanan dan Tata Ruang Wilayah. Aliansi ini beranggotakan Yayasan Setara, CAPPA, YLBHI, WPPJ, dan Perkumpulan Hijau. Mereka menilai ini skenario pragmatis dari upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. "Skenario ini untuk memudahkan negara-negara Eropa membayar dosanya atas pencemaran iklim dunia tanpa mau meninggalkan pola rakus konsumsi mereka atas energi," tulis Ampuh. Penolakan senada disuarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria, Center for Orangutan Protection, dan organisasi lainnya.

Bintang C.H. Simangunsong, XXX, menyarankan pemerintah mengarahkan perkebunan kepala sawit pada hutan yang telah terdegradasi parah. "Selain itu, jangan (menanam) di lahan gambut yang emisi karbonnya besar," kata dosen di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Luas lahan kritis saat ini ada 100 juta hektare, di mana setengahnya berada di kawasan hutan. Luas hutan tanaman industri ada 10 juta hektare, namun yang baru ditanami cuma 4 juta hektare.

Menurut Bintang, lahan kritis dan telantar itulah yang seharusnya menjadi prioritas untuk perkebunan kelapa sawit. Di sisi lain, kata Bintang, biofuel menjadi persoalan di Eropa. Bocornya dokumen petinggi Komisi Eropa makin merunyamkan masalah itu dan menjadi bahan kecaman lembaga swadaya masyarakat. Mereka menuduh ada "tangan-tangan tak terlihat" yang mempengaruhi eksekutif komisi itu. Tidak tertutup kemungkinan "tangan" yang sama juga bermain di Tanah Air.

UNTUNG WIDYANTO

Berita terkait

Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik

10 hari lalu

Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik

Kehadiran itu membahayakan tujuan perjanjian, yaitu mengatur keseluruhan daur hidup plastik untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.

Baca Selengkapnya

BRIN Kembangkan Metode Daur Ulang Baterai Litium Ramah Lingkungan

32 hari lalu

BRIN Kembangkan Metode Daur Ulang Baterai Litium Ramah Lingkungan

Peneliti BRIN tengah mengembangkan metode baru daur ulang baterai litium. Diharapkan bisa mengurangi limbah baterai.

Baca Selengkapnya

Mengenal Antropomorfisme, Sifat Manusia yang Memberikan Empati ke Sekitarnya

47 hari lalu

Mengenal Antropomorfisme, Sifat Manusia yang Memberikan Empati ke Sekitarnya

Antropomorfisme memiliki arti pengenalan ciri-ciri manusia hingga empati kepada binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda mati.

Baca Selengkapnya

Alasan Masyarakat Adat Suku Awyu Mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

51 hari lalu

Alasan Masyarakat Adat Suku Awyu Mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Masyarakat adat suku Awyu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam sengketa izin lingkungan perusahaan sawit PT ASL di Boven Digoel, Papua Selatan.

Baca Selengkapnya

4 Bulan DPO, Mantan Pejabat Pemkab Bangka Tersangka Kasus Perambahan Hutan Ditangkap KLHK

4 Maret 2024

4 Bulan DPO, Mantan Pejabat Pemkab Bangka Tersangka Kasus Perambahan Hutan Ditangkap KLHK

Tersangka Barlian merupakan aktor intelektual kasus perusakan dan perambahan hutan di kawasan hutan produksi Sungai Sembulan Bangka.

Baca Selengkapnya

Menteri Lingkungan Hidup Bertemu Dubes Norwegia Bahas Capaian Pengurangan Emisi

13 Februari 2024

Menteri Lingkungan Hidup Bertemu Dubes Norwegia Bahas Capaian Pengurangan Emisi

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bertemu Duta Besar Norwegia Rut Kruger Giverin membahas capaian emisi.

Baca Selengkapnya

Pertemuan Anies Baswedan - Emil Salim, Mengenang Saat SMA Wawancara Menteri Lingkungan Hidup Itu

31 Januari 2024

Pertemuan Anies Baswedan - Emil Salim, Mengenang Saat SMA Wawancara Menteri Lingkungan Hidup Itu

Saat SMA, Anies Baswedan mewawancarai Emil Salim. Kini, mereka bertemu kembali untuk berdiskusi. Sehari sebelumnya, Ganjar bertemu Emil pula.

Baca Selengkapnya

Anies dan Ganjar Kompak Temui Emil Salim, Ada Apa?

29 Januari 2024

Anies dan Ganjar Kompak Temui Emil Salim, Ada Apa?

Capres Anies dan Capres Ganjar menemui mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Emil Salim jelang pencoblosan Pilpres. Ada apa?

Baca Selengkapnya

Temui Emil Salim, Ganjar Diskusi soal Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim

28 Januari 2024

Temui Emil Salim, Ganjar Diskusi soal Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim

Selain persoalan lingkungan, Ganjar mengatakan dirinya juga membahas pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan

Baca Selengkapnya

Tim Kampanye Anies Baswedan Serukan Revisi UU Cipta Kerja

25 Januari 2024

Tim Kampanye Anies Baswedan Serukan Revisi UU Cipta Kerja

Tim kampanye tiga pasangan capres-cawapres bicara tentang perlindungan lingkungan hidup. Timnas Anies Baswedan menilai UU Cipta Kerja harus direvisi.

Baca Selengkapnya