TEMPO Interaktif, Denpasar – Untuk menjaga kelestarian lingkungan laut dan sumberdayanya di kawasan Coral Triangle (Segitiga Karang), World Wild Fund (WWF) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengkampanyekan tehnik penangkapan ikan yang berkelanjutan. Yakni, tehnik yang mengurangi tangkapan non target yang kerap disebut bycatch.
Data yang dilansir Food and Agriculture Organization memaparkan sekitar 27 juta ton sumber daya laut terbuang setiap tahunnya akibat praktik perikanan yang tidak selektif yang menghasilkan tangkapan sampingan bycatch. ”Kita berharap jumlah itu bisa ditekan dengan melibatkan kalangan nelayan hingga restoran dengan menu sumber daya lautan,” kata Dr. Efransjah, Direktur Eksekutif WWF-Indonesia, hari ini di sela acara pertemuan Coral Triangle Fishers Forum (CTFF) di Sanur Paradise Plaza Hotel, Bali, 15 – 17 Juni 2010.
Di Indonesia tingkat bycatch sendiri belum didata secara pasti. Tetapi diperkirakan mencapai 15 persen dari total tangkapan nelayan dan industry perikanan.Upaya yang telah dilakukan antar lain adalah program mitigasi bycatch melalui percobaan penggunaan pancing lingkar (circle hook) pada perikanan tuna longline di Benoa dan Bitung sejak 2006. Hingga tahun 2010 ini, circle hook terbukti dapat mencegah tertangkapnya penyu dengan tingkat efisiensi mencapai lebih dari 80% tanpa mengurangi hasil tangkapan utama berupa tuna.
Bahkan di beberapa kesempatan circle hook terbukti lebih unggul dibanding pancing biasa terutama dari segi kualitas ukuran ikan. “Saat ini terdapat 25 kapal tuna longline di Benoa yang aktif menggunakan circle hook. Kita berharap peran pemerintah dan industri untuk semakin menambah jumlah tersebut,” lanjut Efransjah.
Pertemuan CTFF sendiri bertujuan membentuk kemitraan nyata antara pembeli atau eksportir produk perikanan dengan industri penangkapan ikan, industri pengolahan ikan, dan nelayan. Kemitraan diyakini akan mendorongkan mitigasi bycatch melalui penggunaan alat tangkap ramah lingkungan . Inisiatif ini diperlukan karena hambatan-hambatan di lapangan seperti; rendahnya insentif ekonomi bagi nelayan untuk menerapkan alat tangkap yang ramah lingkungan, tingginya biaya produksi, serta kurangnya kesadaran mengenai permintaan pasar atas produk perikanan yang ramah lingkungan.
Kawasan Segitiga Karang (Coral Triangle) mendapat perhatian khusus dari WWF karena merupakan lokasi kelautan dengan tingkat keanekaragaman hayati karang paling tinggi di bumi. Kawasan ini sama pentingnya dengan hutan hujan Amazon dan dataran rendah Kongo bagi kehidupan planet ini. Memiliki lebih dari 500 jenis karang, meliputi 6 juta hektar luasan laut yang dinaungi oleh 6 negara – Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste.
Coral Triangle merupakan rumah bagi 3000 spesies ikan karang dan komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi seperti tuna. Coral Triangle juga merupakan rumah bagi lumba-lumba, paus, hiu, pari, serta 6 dari 7 jenis penyu yang ada di dunia. Secara langsung, kawasan Coral Triangle mendukung kehidupan 120 juta lebih individu dari pemasukan perikanan maupun industri pariwisata.
Kepala Pusat Analisis Kerja Sama Internasional dan Antarlembaga (Puskita) KKP Anang Noegroho menyatakan , saat ini negara-negara anggota Coral Triangle Initiative (CTI) telah memiliki perhatian yang serius terhadap upaya mengurangi bycatch. “Kami mendorong dengan program nyata di tingkat propinsi untuk mendorong nelayan melakukan alih teknologi penangkapan ikan,” ujarnya.
Rofiqi Hasan