Mamalia Monogami Bukan karena Romantis  

Reporter

Editor

Erwin prima

Rabu, 31 Juli 2013 18:48 WIB

Simpanse. AP/Sue Ogrocki

TEMPO.CO, Washington - Monogami yang dilakukan beberapa spesies mamalia menjadi perhatian para ahli. Dua tim ilmuwan berbeda telah menemukan alasan pilihan monogami. Sayangnya, jawaban mereka tidak benar-benar romantis.

Kedua tim juga tidak memiliki jawaban yang sama. Satu tim yang hanya meneliti primata, kelompok hewan yang termasuk kera dan monyet, mengatakan pasangan eksklusif jantan dan betina berkembang sebagai cara untuk membiarkan ayah membela anak mereka agar tidak dibunuh oleh jantan lain.

Tim ilmiah lainnya mendapatkan jawaban yang berbeda setelah memeriksa sekitar 2.000 spesies mamalia non-manusia. Mereka menyimpulkan bahwa mamalia menjadi monogami karena hewan betina telah tersebar secara geografis, sehingga hewan jantan harus menjaga yang di dekatnya untuk menangkis kompetisi.

"Jadi ini bukan tentang cinta," kata peneliti Dieter Lukas dari University of Cambridge, penulis utama studi mamalia. "Ini hanya pilihan terbaik yang bisa dia lakukan."

Kata para peneliti, kesimpulan yang berbeda tampaknya timbul karena kedua tim menggunakan metode dan ukuran sampel yang berbeda. "Romantis jelas datang setelah monogami," kata Christopher "Kit" Opie, seorang peneliti antropologi di University College London, yang merupakan penulis utama studi primata itu.

Penelitian-penelitian tersebut dipublikasikan secara online pada Senin, 29 Juli 2013, dalam jurnal Science dan the Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS). Tulisan mamalia di Science mengecualikan manusia, sementara analisis primata dalam PNAS menghitung orang, baik sebagai monogami maupun tidak, karena berbeda di seluruh dunia.

Para peneliti mengatakan mereka ragu-ragu untuk menerapkan kesimpulan mereka pada manusia.

Kurang dari 9 persen spesies mamalia berpasangan secara sosial. Kata Opie, di antara primata, sekitar 25 persen dari spesies itu secara sosial monogami. Beberapa, seperti owa, sangat monogami, sementara yang lain, seperti simpanse, berada di ujung lain spektrum.

Opie meneliti data tentang bagaimana 230 spesies primata berperilaku, dan ia memetakan pohon kekerabatan evolusi untuk mereka. Kemudian, ia menggunakan lebih dari 10 ribu model komputer dan menghitung sistem probabilitas matematika yang sama dengan ahli statistika terkenal, Nate Silver.

Hasilnya: sebelum salah satu sifat sosial dikaitkan dengan monogami muncul, Opie melihat tanda-tanda tingginya tingkat pejantan luar membunuh bayi. Menurut dia, dalam primata, hal itu mengembangkan monogami, berpasangan berkembang kemudian.

Kenapa? Karena primata menyusui anak-anak mereka untuk waktu yang lama, bahkan bertahun-tahun, dan pejantan pesaing membunuh bayi-bayi primata jika sang ayah tidak menempel di sekitarnya untuk melawan mereka.

Tapi, Tim Clutton-Brock, seorang profesor zoologi yang menulis studi mamalia di Science bersama Lukas, mengatakan penelitian mereka melihat sama sekali tidak ada bukti pembunuhan bayi sebelum monogami. Sebaliknya, Clutton-Brock dan Lukas menemukan, pada hampir setiap kasus, hewan betina menyendiri muncul sebelum monogami sosial.

Betina-betina itu telah menyebar keluar untuk memonopoli makanan, seperti buah, yang berkualitas lebih baik tetapi sulit untuk ditemukan. Hal itu membuat lebih sulit bagi pejantan untuk menjaga si betina dari pejantan lain. "Pejantan tidak bisa berhasil mempertahankan lebih dari satu betina," kata Lukas. Jadi mereka bertahan di sekitarnya dan monogami terjadi.

Frans de Waal dari Emory University, yang bukan bagian dari kedua tim, mengatakan ia menduga tulisan pembunuhan bayi Opie menawarkan dukungan kuantitatif untuk teori itu, tapi tidak menerangkan secara lengkap.

Ahli independen lainnya, Sue Carter, dari University of Illinois di Chicago, melihat biokimia monogami pada spesies individu, zeroing pada dua hormon. "Dan hormon-hormon itu berhubungan dengan perlindungan, perilaku defensif, sehingga mereka bisa cocok dengan kedua kesimpulan," katanya.

Kedua tim itu setuju bahwa mereka tidak akan meletakkan manusia dalam kategori monogami. Clutton-Brock mengatakan studinya menemukan spesies yang monogami memiliki perbedaan fisik lebih sedikit antara jenis kelamin. Mereka memiliki ukuran yang sama dan hidup lebih lama.

Opie setuju, seraya mengatakan, "Monogami ketat, seperti (pada) siamang, bukan apa yang dilakukan manusia." Simak berita tekno lainnya di sini.

AP | ERWIN Z

Berita lain
Google Luncurkan Situs Komunitas Foto Android

Galaxy Note III Bakal Berkecepatan 2,3 Hertz

Microsoft Raup Rp 8,2 Triliun dari Tablet Surface

Windows 8.1 Hadir untuk Kalangan Pebisnis

Facebook Jajaki Iklan Video di News Feed






Berita terkait

BRIN Berikan Nurtanio Award ke Ahli Penerbangan & Antariksa Profesor Harijono Djojodihardjo

26 November 2023

BRIN Berikan Nurtanio Award ke Ahli Penerbangan & Antariksa Profesor Harijono Djojodihardjo

BRIN memberikan penghargaan tertinggi kepada periset Indonesia yang berprestasi, dan kepada tokoh yang telah memberikan andil kemajuan iptek.

Baca Selengkapnya

Jokowi Dorong Generasi Muda Kuasai Iptek Dibarengi Budi Pekerti

19 Agustus 2023

Jokowi Dorong Generasi Muda Kuasai Iptek Dibarengi Budi Pekerti

Jokowi mendorong pelajar Muhammadiyah untuk memiliki kemampuan iptek dan juga budi pekerti yang baik

Baca Selengkapnya

Jokowi Ungkap 3 Acuan Penting Menuju Visi Indonesia Emas 2045

15 Juni 2023

Jokowi Ungkap 3 Acuan Penting Menuju Visi Indonesia Emas 2045

Presiden Joko Widodo alias Jokowi membeberkan tiga hal penting yang menjadi acuan menuju visi Indonesia Emas 2045. Simak detailnya.

Baca Selengkapnya

Memahami Globalisasi serta Dampak Negatif dan Positifnya

10 Desember 2022

Memahami Globalisasi serta Dampak Negatif dan Positifnya

Dengan adanya globalisasi, segala aktivitas manusia semakin mudah. Namun lihat juga dampak negatif dan positifnya.

Baca Selengkapnya

Di Acara HUT PGRI, Jokowi Minta Guru Pastikan Anak Didik Kuasai Iptek dan Keterampilan Teknis

3 Desember 2022

Di Acara HUT PGRI, Jokowi Minta Guru Pastikan Anak Didik Kuasai Iptek dan Keterampilan Teknis

Jokowi meminta para guru memastikan anak didiknya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi

Baca Selengkapnya

Siti Fauziah Dorong Mahasiswa Kuasai Iptek dan Lestarikan Budaya

25 November 2022

Siti Fauziah Dorong Mahasiswa Kuasai Iptek dan Lestarikan Budaya

MPR membuka pintu lebar-lebar kepada seluruh elemen bangsa termasuk para mahasiswa untuk berkunjung dan mendapatkan semua informasi.

Baca Selengkapnya

BRIN Anugerahkan Habibie Prize 2022 kepada Empat Ilmuwan

10 November 2022

BRIN Anugerahkan Habibie Prize 2022 kepada Empat Ilmuwan

Penghargaan Habibie Prize 2022 diberikan pada empat ilmuwan yang memberikan kontribusi di bidang iptek dan inovasi.

Baca Selengkapnya

Presiden Tegaskan Kedudukan Pancasila sebagai Paradigma Iptek

4 November 2022

Presiden Tegaskan Kedudukan Pancasila sebagai Paradigma Iptek

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyelenggarakan Symposium on State Ideology and International Conference on Digital Humanities 2022 di Institut Teknologi Bandung.

Baca Selengkapnya

Pemanfaatan Iptekin sebagai Penentu Arah Kebijakan Nasional

20 April 2022

Pemanfaatan Iptekin sebagai Penentu Arah Kebijakan Nasional

Ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (Iptekin) telah menjadi salah satu faktor utama bagi negara-negara maju dalam mempercepat program pembangunan nasional di berbagai sektor, terlebih pada sektor pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan.

Baca Selengkapnya

Praktik Kebijakan Iptekin di Indonesia dan Malaysia

20 April 2022

Praktik Kebijakan Iptekin di Indonesia dan Malaysia

Praktik Kebijakan Iptekin di Indonesia dan Malaysia

Baca Selengkapnya