Gerhana Matahari 1983: 'Jangan Tatap Langit, Bisa Buta'  

Reporter

Selasa, 2 Februari 2016 17:29 WIB

Gerhana matahari total di Tanjung Kodok, Jawa Timur, 1983. Dok.TEMPO/Ilham Soenharjo

TEMPO.CO, Jakarta - Sabtu Pon 11 Juni 1983, pukul 09:49, penduduk kawasan Pangandaran, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat mendapat kesempatan pertama menyaksikan gerhana matahari sempurna. Gerhana tersebut "berjalan" melengkung ke arah timur laut, melintasi tak kurang dari 22 kota antara lain Yogyakarta, Semarang, Cepu, Surabaya dan berakhir di Ujungpandang.

Daerah-daerah tersebut, yang diperkirakan berpenduduk 40 juta orang, pada saat itu gelap total selama 5 menit 11 detik. Karena peristiwa tersebut sangat langka, tentu banyak orang ingin menyaksikannya. Namun ternyata ada pro dan kontra di antara para ahli mengenai boleh tidaknya masyarakat awam menyaksikan gerhana tersebut.

Sebab apabila alat yang dipergunakan kurang baik, sehingga ada secercah saja cahaya matahari yang langsung mengenai mata, alat penglihatan tersebut bakal rusak alias buta. Prof. Dr. Sugana Tjakrasuganda, misalnya, mengimbau agar masyarakat awam tidak usah melihat gerhana matahari tanpa alat pengaman. Ahli mata terkemuka dari Bandung itu menyatakan kebutaan yang diakibatkan karena melihat matahari tersebut tidak ada obatnya.

Ia mengkhawatirkan penduduk yang sangat awam di pedesaan bakal menjadi korban kerusakan mata tersebut. "Karena hari tiba-tiba gelap, mereka ingin melihat matahari. Pada saat itulah matanya rusak dan mereka tidak menyadarinya. Sebab mereka tidak merasakan sakitnya," kata bekas kepala RIS Mata Cicendo, Bandung, itu, seperti diterbitkan majalah TEMPO edisi 19 Maret 1983.

Pelarangan tersebut, menurut Sugana, merupakan upaya pencegahan kemungkinan terjadinya jutaan yang bakal menimpa sekitar 10% dari 40 juta penduduk di kawasan yang dilintasi gerhana total tersebut. Kalaupun misalnya disediakan alat pengaman, semacam kaca mata khusus, belum tentu mereka mampu membelinya. Sementara bila mereka dianjurkan membuatnya sendiri, Sugana khawatir mutu alat tersebut rendah. "Lebih baik melihat siaran televisi saja. Kalau tidak punya televisi, ya lebih baik tidak usah melihat," katanya lagi.

Pendapat tersebut didukung oleh Dr. Andrianto Handojo, ketua Jurusan Fisika ITB. Tapi menurut Andrianto, yang sangat berbahaya sesungguhnya bukan peristiwa gerhananya, melainkan pancaran cahaya matahari yang langsung mengenai mata. Hal ini juga sama berbahayanya dengan menatap matahari dalam keadaan tidak gerhana.

Yang paling berbahaya dalam gerhana matahari sempurna ini ialah menjelang saat gerhana akan berakhir, yaitu tatkala matahari berbentuk sabit setelah tertutup sempurna oleh sang bulan. "Pada saat keadaan sekitar kita gelap, pupil mata membesar, berusaha menembus kegelapan. Ketika bagian matahari yang berbentuk sabit itu muncul, terpancarlah cahayanya langsung mengenai mata yang melihat peristiwa gerhana tersebut, padahal pupil mata masih dalam keadaan membesar. Saat inilah yang paling berbahaya. Karena itu berhati-hatilah, nasihat Adrianto.

Prof. Dr. Bambang Hidayat, ahli astronomi itu, bukan tidak manyadari bahaya tersebut. Wakil ketua Panitia Nasional Gerhana Matahari 1983 itu menyatakan bukan hanya 40 juta penduduk saja yang terancam, melainkan 130 juta rakyat Indonesia. "Sebab bukan hanya penduduk di daerah yang dilintasi gerhana saja yang ingin melihat. Tapi siapa yang dapat melarang orang datang ke tempat yang dilewati gerhana untuk melihat peristiwa yang sangat langka itu?" katanya.

Karena itu Bambang lebih cenderung memberikan penerangan seluas-luasnya dan sejelas-jelasnya kepada khalayak tentang bahaya gerhana itu. Dengan penerangan yang efektif, ia yakin bahaya kebutaan bisa dihindari. Sebagai contoh gerhana matahari sempurna yang terjadi pada 1976 di Australia hanya mengakibatkan kebutaan pada 2 orang.

Sebaliknya gerhana matahari sempurna pada 1912 di Jerman, Rusia dan Swedia membikin buta 3.500 orang karena penerangan yang tidak efektif. Untuk mendapatkan kesepakatan pendapat mengenai hal tersebut Bambang Hidayat mengusulkan pertemuan di antara para ahli.

Pertemuan tersebut akhirnya dilangsungkan Selasa pagi minggu lalu di kantor LIPI, Jalan Cik Di Tiro, Jakarta Pusat. Para ahli bersepakat bahwa yang terpenting ialah bagaimana memberikan penerangan yang efektif dan merata kepada seluruh rakyat agar mereka tidak menatap langsung matahari. Mereka tidak setuju pemakaian sesuatu alat (baik yang impor maupun bikinan sendiri) sebab mutunya sulit dikontrol.

TIM TEMPO

Berita terkait

Agar Peserta Tetap Rapi, Panitia UTBK SNBT 2024 Sediakan Kemeja dan Sepatu Pinjaman

1 hari lalu

Agar Peserta Tetap Rapi, Panitia UTBK SNBT 2024 Sediakan Kemeja dan Sepatu Pinjaman

Mengatasi peserta yang berpakaian kurang pantas, panitia UTBK SNBT 2024 menyediakan kostum pinjaman, umumnya berupa kemeja dan sepatu.

Baca Selengkapnya

Cara Panitia Pengawas UPI hingga Unpad Cegah Upaya Kecurangan UTBK

1 hari lalu

Cara Panitia Pengawas UPI hingga Unpad Cegah Upaya Kecurangan UTBK

Pusat Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) di Bandung menerapkan berbagai macam cara untuk mengantisipasi kecurangan saat UTBK SNBT 2024

Baca Selengkapnya

Lulus Magister Administrasi Bisnis ITB, Influencer Dokter Tirta Raih Predikat Cumlaude

1 hari lalu

Lulus Magister Administrasi Bisnis ITB, Influencer Dokter Tirta Raih Predikat Cumlaude

Bersama lulusan lain, dokter Tirta menghadiri Sidang Terbuka Wisuda Kedua ITB Tahun Akademik 2023/2024 di Gedung Sabuga, ITB.

Baca Selengkapnya

Potensi Bahaya Gempa Deformasi Batuan Dalam, Ahli ITB: Lokasi Dekat Daratan

1 hari lalu

Potensi Bahaya Gempa Deformasi Batuan Dalam, Ahli ITB: Lokasi Dekat Daratan

Lokasi sumber gempa lebih dekat dengan daratan sehingga potensi untuk merusak lebih besar

Baca Selengkapnya

ITB Siap Gelar UTBK SNBT 2024, Peserta Disarankan Datang Pakai Angkutan Umum

3 hari lalu

ITB Siap Gelar UTBK SNBT 2024, Peserta Disarankan Datang Pakai Angkutan Umum

ITB siap 100 persen menggelar UTBK SNBT 2024.

Baca Selengkapnya

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

3 hari lalu

Ketua RT Palugada di Balik Rekor MURI Jalan Gang 8 Malaka Jaya Duret Sawit

Salah satu Rukun Tetangga (RT) di wilayah Jakarta Timur kini tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

Baca Selengkapnya

Budi Gunadi Sadikin Terpilih sebagai Ketua Majelis Wali Amanat ITB

5 hari lalu

Budi Gunadi Sadikin Terpilih sebagai Ketua Majelis Wali Amanat ITB

Pemilihan Budi Gunadi Sadikin itu berlangsung secara musyawarah untuk mufakat dalam rapat pleno perdana MWA ITB di Gedung Kemenristekdikti.

Baca Selengkapnya

Biaya Kuliah ITB 2024 Jalur SNBP, SNBT, dan Mandiri

8 hari lalu

Biaya Kuliah ITB 2024 Jalur SNBP, SNBT, dan Mandiri

Rincian perkiraan biaya kuliah jalur SNBP, SNBT, dan Seleksi Mandiri ITB tahun akademik 2024

Baca Selengkapnya

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

10 hari lalu

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Penulisan jurnal ilmiah bagi dosen akan membantu menyumbang angka kredit dosen, meskipun tak wajib publikasi di jurnal Scopus.

Baca Selengkapnya

Banyak dibutuhkan di Bidang Asuransi, Mengenal Profesi Aktuaris

12 hari lalu

Banyak dibutuhkan di Bidang Asuransi, Mengenal Profesi Aktuaris

Menjadi seorang aktuaris memang tidak mudah karena dalam pekerjaannya mengaplikasikan beberapa ilmu sekaligus seperti matematika hingga statistika.

Baca Selengkapnya