TEMPO.CO, Canberra - Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengumumkan kesepakatan untuk memperoleh lebih dari 84 juta dosis vaksin Covid-19 potensial.
Morrison, Menteri Kesehatan Greg Hunt, serta Menteri Perindustrian, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi Karen Andrews, pada Senin, 7 September 2020, mengumumkan kesepakatan vaksin dengan Universitas Queensland dan perusahaan bioteknologi Australia CSL, serta Universitas Oxford dan raksasa farmasi AstraZeneca.
Berdasarkan kesepakatan itu, dengan nilai gabungan mencapai 1,7 miliar dolar Australia (Rp 18,26 triliun), Australia akan menerima dosis pertama dari kandidat vaksin yang sedang dikembangkan oleh universitas-universitas tersebut jika uji coba terbukti berhasil.
"Warga Australia akan mendapatkan akses gratis untuk vaksin COVID-19 pada 2021 jika uji coba terbukti berhasil," kata Morrison dalam pernyataannya pada Senin.
"Dengan mengamankan kesepakatan produksi dan pasokan, Australia akan menjadi negara pertama di dunia yang menerima vaksin aman dan efektif apabila vaksin tersebut lolos uji tahap akhir."
"Tidak ada jaminan bahwa vaksin-vaksin ini akan terbukti ampuh, kendati demikian, kesepakatan itu menempatkan Australia di urutan antrean teratas jika pakar medis kami memberi lampu hijau terhadap vaksin tersebut."
Berdasarkan kesepakatan itu, lebih dari 84,8 juta dosis vaksin akan disediakan untuk warga Australia, dengan akses awal terhadap 3,8 juta dosis vaksin dari Universitas Oxford pada Januari dan Februari 2021.
Menurut pernyataan tersebut, vaksin Universitas Oxford/AstraZeneca merupakan yang "terdepan di dunia," dan telah memasuki uji coba tahap tiga.
Sementara itu, Universitas Queensland belum lama ini mengumumkan bahwa uji praklinis menunjukkan bahwa vaksin tersebut menjanjikan dan sudah efektif pada model hewan.
Morrison, yang sebelumnya menyatakan optimisme bahwa vaksin dapat tersedia pada awal 2021, pada Agustus lalu mengatakan bahwa vaksin "sedapat mungkin akan diwajibkan" tetapi kemudian menarik kembali saran tersebut.
"Vaksin ini tidak akan diwajibkan," ujarnya. "Tidak ada mekanisme untuk 'kewajiban'. Kita tidak bisa menahan seseorang dan memaksa mereka melakukannya."
ANTARA | XINHUA