Hingga saat ini, Jon menyatakan, metode flare sudah beberapa kali digunakan dalam operasi modifikasi cuaca atau hujan buatan baik menggunakan pesawat Piper Cheyenne ataupun dari darat menggunakan menara GBG (Ground Based Generator). “Seperti Operasi pencegahan banjir Jabodetabek dan operasi untuk PLTA dan kebutuhan pertambangan,” kata dia.
Yudi Anantasena, Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT, menilai potensi TMC dari tahun ke tahun meningkat, terutama dengan Flare/CoSAT 1000. Menurutnya, pemanfaatannya mencakup pula upaya pencegahan bencana hidrometeorologi, ketahanan pangan, dan mendukung PLTA.
Untuk penyediaan air danau atau waduk, Yudi mengutip Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional. “Telah ditetapkan 15 danau prioritas nasional, mulai Sumatera Utara hingga Papua,” ujarnya.
Adapun Kepala BPPT, Hammam Riza, berpesan pengembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan teknologi internet of things (IoT) untuk bisa lebih membantu BBTMC melaksanakan operasi modifikasi cuaca. Teknologi yang pertama disebutnya menyediakan sebuah evidence-based forecasting terhadap kondisi wilayah daerah target TMC.
Sedangkan yang kedua dapat mendukung otomatisasi pelaksanaan TMC, terutama yang berbasis Flare/CoSAT 1000, menggunakan metode Ground Base Generator.
Namun, di antara semua potensi tersebut, Koordinator Bagian Umum BBTMC–BPPT Budi Harsoyo mengungkap satu kendala yang masih mengganjal. Dia menyoroti pengurusan izin flare yang panjang, baik untuk penggunaan, pengangkutan, penyimpanan, pengalihan penggunaan, pemilikan, serta pemusnahan. Sementara, masa berlaku izin yang kemudian diberikan dinilainya amat singkat.
Penyebabnya, bahan semai flare yang dikategorikan sebagai bahan peledak sekalipun bukan yang high explosive.
Operasi TMC atau hujan buatan. Kredit: BBTMC BPPT
Menurut dia, teknologi modifikasi cuaca sangat tergantung pada keberadaan awan dan cuaca yang sangat cepat berubah. Karena urusan perizinan yang lama, dia mengungkapkan, sering terjadi peluang hilang dan operasi menjadi mundur atau bahkan batal. “Karena persyaratan dan izin flare belum selesai,” ujarnya.
Budi juga mengatakan, penugasan operasi hujan buatan sering kali bersifat mendadak dan darurat bencana. Dia berharap alur perizinan flare dapat dipertimbangkan untuk disederhanakan atau dikecualikan di antara kategori bahan peledak.