TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Tjandra Yoga Aditama menjadi salah satu dari 12 ahli internasional dalam Independent Allocation Vaccine Group (IAVG) COVAX yang bertugas memvalidasi pembagian vaksin Covid-19 ke berbagai negara di dunia.
Menurut Tjandra, IAVG selalu memperhatikan perkembangan pandemi serta dampaknya pada kesehatan, sosial dan ekonomi, serta selalu memberi dukungan maksimal untuk proses akses vaksin Covid-19 untuk berbagai negara di dunia. “IAVG prihatin dengan relatif rendahnya jumlah vaksin yang diberikan ke COVAX,” ujar dia, Kamis, 30 September 2021.
IAVG, Tjandra melanjutkan, selalu menekankan kepada produsen vaksin serta negara yang memproduksi vaksin yang sudah memiliki angka tinggi cakupan di negaranya agar memberi perhatian pada keadilan ketersediaan vaksin (vaccine equity) dan transparansi, serta memberi informasi yang jelas tentang kapasitan produksi serta jadwal asupan ke COVAX.
“Kami mengkhawatirkan adanya prioritas pendekatan bilateral ketimbang solidaritas internasional/multilateral, dan juga adanya kebijakan restriksi ekspor pada sebagian keadaan,” katanya lagi.
Tjandra, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Jakarta, mengatakan IAVG menyadari perlunya dosis tambahan untuk melindungi kelompok rentan masyarakat dan mereka dengan gangguan kekebalan tubuh (immune-compromised).
IAVG juga menganjurkan agar negara-negara mengumpulkan dan menganalisa lebih banyak lagi bukti ilmiah sebelum memutuskan kebijakan pemberian vaksin booster pada masyarakatnya.
Salah satu upaya untuk membantu pemerataan, Tjandra berujar, adalah memprioritaskan alokasi vaksin dari COVAX pada negara yang masih rendah cakupan vaksinnya Oktober ini. Hal ini juga dengan mempertimbangkan kemungkinan negara-negara itu mendapat vaksin dari sumber lainnya.
“Kami di IAVG juga terus menganalisa informasi dan data tentang masalah kapasitas absorpsi vaksin di negara-negara yang cakupannya masih rendah,” tutur Tjandra.
Menurut IAVG, advokasi di tingkat internasional dan regional masih sangat perlu dilakukan untuk mengatasi kurangnya kemauan politis pada situasi tertentu karena hal itu mengakibatkan gangguan implementasi pemerataan vaksin di dunia. Negara-negara yang membutuhkan juga perlu mendapat akses pendanaan dan dukungan teknis untuk implementasi vaksinasi di negaranya.
Mengenai sumber vaksin yang didapat oleh COVAX, Tjandra berujar, IAVG berpendapat bahwa donasi memang sumber yang penting, tapi harus dilihat sebagai upaya tambahan dari pembelian vaksin oleh COVAX sendiri. Jangan sampai donasi menggantikan kegiatan pembelian, karena masalah pengurusan dan administrasi yang rumit.
“Kami di IAVG kembali menekankan agar negara yang menyumbangkan vaksin ke COVAX dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan catatan khusus tentang negara mana yang boleh menerima sumbangannya atau earmarking,” kata dia sambil menambahkan penyumbang harus menjamin bahwa vaksin yang disumbangkan tidak punya waktu kadaluarsa yang singkat.
Selain itu, IAVG juga menyoroti berbagai upaya dan program untuk mengatasi kelompok yang menolak di vaksin (vaccination hesitancy) di berbagai negara. Upaya ini sebaiknya bersifat lokal spesifik dan memerlukan keterlibatan aktif masyarakat setempat.
“Di berbagai belahan dunia terjadi keresahan sosial, situasi konflik, serta bencana alam, yang mempengaruhi implementasi vaksinasi, sehingga diperlukan solidaritas dan kerja sama internasional untuk mendukung program vaksinasi,” ujar Tjandra yang merupakan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2020.
Baca:
Pakar Ingatkan Terlalu Dini Bahas Booster dan Vaksin Berbayar Saat Ini