TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini banyak perusahaan menawarkan komputasi awan (cloud computing) disertai produk dan jasa lainnya. Beberapa perusahaan mungkin sudah tidak asing, seperti Amazon Web Services, Google Cloud, Alibaba Cloud, dan Microsoft Azure. Seberapa jauh kebutuhan dan keuntungan menggunakan teknologi ini di Indonesia, berikut ini hasil studi yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Menurut Kepala Departemen Ekonomi CSIS, Fajar Hirawan, pemanfaatan teknologi komputasi awan berpotensi meningkatkan layanan publik dan sepenuhnya meningkatkan pembangunan ekonomi negara. Tapi, dia mengingatkan, pemerintah juga harus menciptakan lingkungan peraturan yang kondusif untuk cloud.
“Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pemahaman di antara pejabat pemerintah tentang keamanan dan perlindungan data di cloud; menerapkan mekanisme akuntabilitas data dan mengembangkan kerangka klasifikasi data; dan mencegah potensi konflik antara pemerintah pusat dan daerah,” kata Fajar di Gedung Pakarti Centre, CSIS, Jakarta Pusat, Selasa, 23 Agustus 2022.
Deni Friawan, peneliti di Departemen Ekonomi, menjelaskan lebih jauh tentang tujuan studi. Dia menyebut upaya memberikan gambaran tentang adopsi cloud computing di sektor publik Indonesia. Juga membahas beberapa keuntungan penting, dan tantangan yang dihadapi oleh sektor publik, serta mengukur dampak ekonomi dari teknologi cloud, dan merumuskan rekomendasi kebijakan.
"Penelitian ini diharapkan memperlihatkan bagaimana Indonesia dapat membuka potensi penuh dari komputasi awan, khususnya dalam meningkatkan pelayanan publik," katanya menambahkan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode campuran pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Studi ini melakukan survei, kelompok diskusi terfokus (focus group discussion), dan wawancara dengan personel IT dan pengambil keputusan di sektor publik, termasuk instansi pemerintah daerah dan pusat, perguruan tinggi dan rumah sakit yang berlokasi di 5 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Gorontalo.
Hasil penelitian CSIS
Total sampel sebanyak 169 lembaga publik terdiri dari 21 lembaga pemerintah pusat, 67 lembaga di lingkungan pemerintah daerah (provinsi dan kota/kabupaten), 47 di sektor pendidikan, dan 34 sektor kesehatan.
Hanya 30 persen dari 169 lembaga publik yang disurvei tersebut yang menunjukkan telah menggunakan layanan cloud. Tertinggi adalah pemerintah pusat (71,4 persen) dan terendah ada di sektor kesehatan atau rumah sakit (8,8 persen).
Peneliti CSIS, Deni Friawan, (kiri) saat memaparkan hasil studi tentang adopsi teknologi cloud computing di sektor publik Indonesia, Selasa 23 Agustus 2022. TEMPO/Maria Fransisca Lahur
Namun, tim peneliti CSIS menilai prospek adopsi cloud di sektor publik Indonesia cukup cerah. Mereka mencatat ada hampir 40 persen organisasi publik yang berencana untuk menggunakannya di masa depan.
Studi juga mendapati para lembaga publik mengadopsi teknologi cloud hanya sebagai tambahan atau perpanjangan dari server lokal dan colocation. Artinya, hanya ketika mereka menganggap kapasitas yang ada tidak lagi cukup dan tidak melibatkan data sensitif. Sebagian besar lembaga publik pengguna cloud menyatakan kalau sebelumnya telah menggunakan server lokal (63 persen) atau colocation (23 persen).
Manfaat menggunakan cloud
Deni mengungkapkan bahwa lembaga publik yang menggunakan teknologi komputasi awan menyatakan telah memperoleh berbagai manfaat seperti pengurangan biaya, peningkatan efisiensi dan produktivitas, kelincahan dan skalabilitas, serta ketahanan.
Lebih dari 27 persen lembaga publik yang menjadi responden dalam studi ini mengaku dapat menghemat biaya IT hingga hampir 10 persen. Ada sekitar 2 persen yang mengaku penghematan bahkan bisa 30–40 persen.
Setelah adopsi cloud, jumlah aplikasi yang dikembangkan dalam satu tahun juga meningkat dari hampir 4 menjadi lebih dari 6 aplikasi. Rata-rata waktu yang dihabiskan oleh masyarakat untuk mengakses aplikasi meningkat dari sekitar 7 jam menjadi lebih dari 8 jam.
Seorang pengunjung menggunakan layar sentuh untuk mencoba aplikasi cloud computing di booth perusahaan Jerman, Deutsche Telekom, di Pameran Komputer CeBit di Hanover, Jerman, Selasa (6/3). REUTERS/Fabrizio Bensch
Studi ini juga memperlihatkan bagaimana rata-rata waktu henti yang tidak direncanakan (unplanned downtime) per bulan menurun drastis dari 3,7 jam menjadi 0,5 jam. Jumlah insiden waktu kritis (critical time incidents) turun dari hampir 2 kali per bulan menjadi 0,3 kali per bulan. Sedangkan insiden keamanan (security incidents) per bulan juga menurun dari 1,7 menjadi 0,6 jam per bulan.
Waktu yang diperlukan untuk mengelola server/database/aplikasi sebenarnya menjadi berkurang sekitar 21 persen. Tapi, jumlah staf yang diperlukan untuk mengelola server/database/aplikasi meningkat sebesar 33 persen. Itu karena sebagian besar lembaga tetap menjalankan server/pusat data lokal mereka.
Cloud dan perekonomian nasional
Kalkulasi dari hasil studi menyimpulkan adopsi komputasi awan di sektor publik Indonesia juga bermanfaat bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto negara sebesar 0,03 hingga 0,37 poin persentase atau setara dengan penambahan PDB sebesar Rp 35 triliun. Cloud computing juga meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,02 hingga 0,08 poin persentase, atau menciptakan hingga 95 ribu lapangan kerja baru.
"Selain itu, dapat menyebabkan penurunan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) sekitar -0,1 hingga -1,23 poin persentase, yang menyiratkan peningkatan efisiensi dalam perekonomian secara keseluruhan," kata Deni.
Salah satu terobosan dalam cloud computing adalah teknologi hyper-converged.
Hambatan dan tantangan teknologi cloud di Indonesia
Penelitian CSIS juga melihat adanya faktor hambatan untuk komputasi awan di Tanah Air. Termasuk di dalamnya adalah mispersepsi mengenai risiko keamanan dan masalah data pribadi, ketidakpastian peraturan dan dukungan hukum, sistem pengadaan di pemerintahan. Masih ditambah kurangnya keterampilan dan pendukung infrastruktur broad band.
Mayoritas non-pengguna (lebih dari 55 persen) dan pengguna (hampir 65 persen) teknologi cloud memiliki kekhawatiran tentang keamanan dan privasi data sebagai faktor utama yang mencegah atau membatasi mereka untuk menggunakan cloud. Sementara, hambatan ketidakpastian tentang hukum dan peraturan yang ada ditunjukkan oleh 33 persen non-pengguna dan lebih dari 25 persen pengguna cloud.
Penelitian CSIS menyatakan Indonesia perlu menunjang kembali peraturan yang ada saat ini, seperti Peraturan Pemerintah No. 71/2019 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5/2020 untuk sejalan dengan praktik terbaik di tingkat internasional untuk memudahkan adopsian teknologi cloud di sektor publik. Kebijakan yang disusun direkomendasikan perlu menyediakan ekosistem yang memudahkan untuk berinovasi serta memastikan keamanan dan perpindahan data yang stabil dan baik.
"Menjadi penting untuk mencari titik keseimbangan dalam kerangka regulasi yang dibuat sehingga tidak berpotensi memperlambat transformasi digital dan modernisasi TIK," bunyi hasil studi CSIS.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.