TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kasus kekerasan di lingkungan sekolah ramai menarik perhatian dan menjadi perbincangan belakangan. Mulai dari siswi SMP yang dirundung karena memiliki penyakit autoimun hingga guru yang mengalami kebutaan permanen akibat diserang orang tua murid. Psikolog anak Astrid Wen mengatakan bahwa sebenarnya tingkat kekerasan di Indonesia sudah tinggi sejak dulu lantaran budaya kekerasan masih belum teratasi. Peningkatan kasus baru terasa karena setelah pandemi.
“Kondisi setelah pandemi ini kan memang berbeda sekali saat belum ada interaksi sosial yang nyata, lalu anak-anak kembali lagi ke sekolah dengan interaksi sosial yang nyata. Jadi, masalah-masalah emosi dan kecemasan yang tadinya tertahan di dalam rumah berpindah, dituangkan ke ruang kelas,” kata Astrid kepada Tempo, Jumat, 11 Agustus 2023.
Astrid mengungkap bahwa sejumlah pasien yang datang ke kliniknya setelah pandemi adalah mereka yang memiliki masalah perundungan dan konflik pertemanan. Menurut datanya, kasus konflik pertemanan meningkat. Oleh karena itu, orang tua dinilai perlu kembali mengajarkan anak cara mengatasi konflik.
“Kita kan pandemi tiga tahun ya, anak-anak kita tidak belajar cara menangani konflik di situasi nyata. Kan, ketegangannya berbeda,” kata Astrid. “Kalau misalnya budaya di rumah sudah penuh kekerasan, kecemasan, masalah emosi, mereka bawa ini ke sekolah. Jadi sangat mungkin anak-anak membawa norma berbeda dengan yang seharusnya terjadi di lingkungan sekolah.”
Selain orang tua, tenaga kependidikan di lingkungan sekolah disebut memiliki peran besar dalam menangani kekerasan. Dari pengamatan terhadap kasus-kasus yang pernah ia tangani, penting bagi tenaga kependidikan melihat kasus kekerasan sesuai fakta, tanpa dikurangi atau dilebih-lebihkan.
Astrid menilai sering kali penanganan kekerasan di sekolah belum memadai. “Sangat mungkin orang yang baik melakukan tindakan kekerasan dan perlu sekali mengedukasi bahwa hukuman itu sebenarnya untuk menghilangkan atau mengurangi tingkah laku buruknya, bukan untuk memberi label pada pelaku atau korban,” kata dia.
Pentingnya rehabilitasi
Menurut Astrid, pandemi Covid-19 yang mulai memasuki Indonesia pada awal 2020 sangat berpengaruh kepada tingkah laku anak. “Kita kan baru keluar pandemi sekitar setahun, masih adaptasi. Kan pattern tingkah laku kita hidup selama tiga tahun sudah terbentuk. Cara kita mengelola marah, kecemasan, berempati dengan orang lain—itu sudah terbentuk. Dan banyak juga murid bingung bagaimana harus berhadapan dengan suatu masalah," ujarnya.
Menghadapi hal tersebut, Astrid menegaskan orang tua dan tendik tidak boleh menganggap ini sebagai hal yang remeh. Selain hukuman, program rehabilitasi bagi korban, pelaku anak hingga guru perlu dipikirkan. Hal ini supaya cara pergantian tingkah laku dari kekerasan kepada nonkekerasan bisa terjadi.
“Sering kali kita hanya berhenti di saling membalas. Tetapi kita tidak mencoba membangun pemulihan sang anak,” kata Astrid. “Anak yang jadi korban terus menjadi korban. Atau anak sebagai pelaku dihukum tidak ada rehabilitasinya, jadi kemungkinan untuk dia terus jadi pelaku tetap tinggi.”
Kepekaan terhadap kekerasan
Melihat kondisi darurat kekerasan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pun mengeluarkan Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Aturan ini merupakan penyempurnaan dari Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 sebelumnya yang tidak memuat definisi, pembagian tugas dan mekanisme yang rinci.
Menurut Astrid, hal yang penting dilakukan bersamaan dengan implementasi Permendikbud terbaru ini adalah peningkatan kesadaran terhadap tingkah laku kekerasan itu sendiri. Perlu ada pemahaman dan kesesuaian tentang cara pemberian sanksi yang diatur oleh Permendikbud, seperti teguran dan permohonan maaf dari pelaku.
Astrid menyebut bahwa di luar lingkungan sekolah, kekerasan sudah seperti budaya. Maka dari itu, penting bagi sekolah untuk memiliki kepekaan terhadap hal itu.
“Bapaknya mukul, ibunya mukul, gurunya sampai rumah mukul anaknya. Kita belum benar-benar sadar bahwa kekerasan yang kita lakukan pada generasi ini sudah bukan zamannya lagi. Dulu mungkin biasa, tetapi zaman sekarang sudah ganti metode. Harus disamakan awareness itu,” kata Astrid.
Pilihan Editor: Permendikbud Baru PPKSP, Berikut Langkah yang Harus Dilakukan Jika Terjadi Kekerasan di Sekolah