TEMPO.CO, Jakarta - Masalah pengungsi Rohingya tengah menjadi pekerjaan rumah pemerintah Indonesia saat ini. Masyarakat yang mulanya menyambut kedatangan para pengungsi yang melakukan eksodus dari Myanmar itu menjadi antipati karena banyaknya laporan mengenai perilaku kurang menyenangkan para pengungsi terhadap warga lokal.
Mengenai persoalan itu, Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Baiq LS W Wardhani memaparkan kisah awal mula gerakan eksodus etnis Rohingya ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Ia menyebut awal mula kedatangan para etnis Rohingya di Bhurma, Myanmar merupakan bawaan para tentara Inggris yang saat itu sedang menjajah tanah Myanmar.
Etnis Rohingya datang untuk membantu Inggris ketika menjajah yang akhirnya membuat rakyat Myanmar tidak bersimpati terhadap etnis Rohingya. Di sisi lain, ada upaya pemberontakan etnis Rohingya kepada pemerintah Myanmar untuk mendirikan suatu negara di tanah Arakan, Myanmar. Hal tersebut memicu kekhawatiran pemerintah Myanmar akan adanya gerakan separatis.
“Orang-orang Rohingya ini, harusnya mereka sebagai pendatang respect kepada orang Bhurma asli. Sebagian dari mereka itu berontak ke pemerintah Myanmar” kata Baiq dilansir dari laman Unair, Rabu, 20 Desember 2023. “Makanya pemerintah Myanmar dengan militernya tetap menggilas para pemberontak itu."
Diungsikan ke salah satu pulau
Baca Juga:
Wakil Presiden Ma'ruf Amin sempat mengusulkan para pengungsi Rohingya sementara waktu diungsikan ke salah satu pulau di Sumatera, yakni pulau Galang. Mengenai hal itu, Baiq menyebut langkah itu dapat dijadikan sebagai solusi yang membantu.
Sebab, terkumpulnya para pengungsi pada satu titik akan memudahkan pemerintah untuk mengontrol pergerakan para pengungsi. Terlebih, sebelumnya banyak dilaporkan pengungsi yang berkonflik dengan warga lokal, seperti melanggar norma sosial yang berlaku di Aceh. Dengan pengungsi dikumpulkan di satu tempat, maka akan mengurangi risiko adanya konflik dengan warga lokal.
“Kalau mereka tidak ditampung ke tempat lain, itu akan sulit untuk kita. Mereka bisa macam-macam, bisa menimbulkan chaos dan menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat lokal,” kata Baiq.
Namun, Baiq menilai langkah tersebut perlu dikaji lebih lanjut. “Memang, saya kira itu solusi yang membantu. Cuma apakah itu keputusan yang tepat? Saya kira perlu dikaji ulang. Kenapa kok dipilih pulau di Kepulauan Riau? Kenapa kok enggak di tempat lain? Apa alasannya?” kata dia.
Berkaitan dengan pengungsi Rohingya ini, Baiq menjelaskan bahwa bantuan yang diberikan kepada mereka tidak berasal dari dana pemerintah Indonesia. Para pengungsi mendapatkan tunjangan yang diberikan oleh International Organization for Migration (IOM).
IOM sendiri merupakan Non-Govermental Organization (NGO) yang menyalurkan bantuan bagi para pengungsi. Karena melalui sudut pandang HAM, pengungsi Rohingya tetap manusia yang perlu dibantu dan mendapat hidup yang layak.
“Banyak yang menyangka bahwa bantuan yang diberikan adalah uang dari pemerintah Indonesia, padahal bukan. Itu adalah uang IOM. Perlu disebarkan informasi ini. Kita tidak dapat membandingkan kondisi para pengungsi dengan penduduk lokal,” kata Baiq.
Pilihan Editor: Biaya Kuliah Unair Lengkap untuk Semua Program Studi