TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia atau JPPI dan Suara Orang Tua Peduli (SOP) membahas refeleksi akhir tahun mengenau kasus kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar. Aktivis SOP Rahmi Yunita menyoroti pola kekerasan dan intimidasi yang seringkali berulang dalam sekat-sekat geng yang diciptakan pelajar.
"Kekerasan dan intimidasi itu menciptakan ketidaksetaraan dalam relasi kuasa di kalangan pelajar. Perilaku brutal yang berkaitan dengan identitas geng kerap menjadikan korban di luar geng menjadi sasaran pemukulan atau diserang bersama," ujarnya dilansir dari situs NU online pada Selasa, 2 Januari 2024.
Dia mengatakan meskipun beberapa kasus kekerasan akhirnya mencuat ke permukaan, namun program di sekolah untuk mengurangi budaya geng masih minim. Selama ini, kata dia, upaya terbatas pada kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) atau sosialisasi. Padahal, kurangnya perhatian terhadap pembangunan kesadaran dan pencegahan kekerasan di sekolah menjadi tantangan serius.
"Saya belum melihat ada sekolah yang punya program untuk mengurangi budaya geng, cuma ada MPLS dan sosialisasi. Bagaimana caranya membuat anak-anak paham tradisi melakukan kekerasan orang lain itu merupakan tindakan kriminal. Saya tidak melihat ada program itu di sekolah kita," kata Yunita.
Ia mencontohkan kasus kekerasan oleh ketua geng di salah satu sekolah di Cilacap yang terjadi September lalu. Lalu, ada pula kasus siswa senior yang memukul siswa junior di Jakarta. Yunita menyayangkan belum ada strategi yang kreatif atau efektif untuk menangani kekerasan ini di satuan pendidikan.
"Dinas (pendidikan) dan Mendikbud (Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) harus diskusi soal ini. Masalahnya, geng itu tak bisa dianggap persoalan sederhana, karena ada sejarah panjang mengapa aturan mengurangi kekerasan berkali-kali gagal. Jangan sampai ada yang terulang, baru lebih aware. Sekolah seharusnya lebih demokratis, sehingga geng dihapuskan bukan diwariskan," ucap Yunita.
Ia menegaskan, perlu adanya strategi kreatif dalam menangani kekerasan di satuan pendidikan, merujuk pada peraturan baru Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023. "Agustus lalu, Permendikbub baru mengharapkan sekolah lebih aware untuk mencegah mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah. Menurut saya, itu cukup memberikan pencerahan. Mekanisme permendikbud baru ini menarik untuk dieksplorasi," ucap Yunita.
Perlu sinergi berbagai pihak
Melihat kenyataan yang ada, Koordinator JPPI Ubaid Matraji mengatakan sinergi antara berbagai pihak seperti pemerintah, sekolah, dan masyarakat menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman. "Kami sangat prihatin angka kekerasan pelajar di Indonesia masih sangat tinggi, khususnya di DKI Jakarta. Kekerasan didominasi tawuran antarpelajar. Di Jakarta, tawuran bisa sehari tiga kali. Ini memang masalah sangat serius (tawuran), angkanya capai 59 persen," ungkap Ubaid.
Di samping itu, kekerasan seksual menempati posisi kedua tertinggi yang berkontribusi terhadap angka putus sekolah pelajar perempuan Indonesia. Tak hanya itu, kekerasan seksual juga menyumbang dalam angka gender based violence di sekolah.
"Kami sangat mengapresiasi permendikbud yang baru. Sayangnya, itu masih menjadi semacam kertas sampai Desember 2023, belum ada tindak lanjut. Ini menjadi penting sekali, bukan hanya soal dibentuk atau tidak dibentuk, tapi bagaimana program satgas, tim pencegahan kekerasan betul-betul menjadi prioritas di daerah," kata Ubaid.
Ubaid berharap tidak hanya komitmen di kebijakan atau aturan perundang-undangan, namun pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang memadai. Kebijakan ini diperlukan untuk memastikan perlindungan terhadap korban kekerasan, serta memberikan jaminan keselamatan bagi pelapor kekerasan. Namun, yang lebih penting lagi menurutnya adalah jaminan supaya ada perlindungan terhadap korban kekerasan.
"Karena yang terjadi adalah korban takut melapor karena tidak ada jaminan keselamatan terhadap pelapor. Yang sering terjadi, anak ditandai gurunya, kepala sekolahnya, banyak diancam, diintimidasi," tuturnya.
Pilihan Editor: Saran Psikolog UI untuk Resolusi Tahun Baru: Spesifik, Terukur, Jelas dan Realistis