TEMPO Interaktif, Jakarta: Meski tergolong yang paling cepat mengadopsi teknologi informasi, kebanyakan industri perbankan ternyata tidak memiliki sistem manajemen risiko yang terpadu.
Direktur Sales dan Aliansi PT. SAS Institute Jongki Sundah mengatakan selama ini bank hanya melakukan pengelompokan berdasarkan portofolio atau bidang bisnis dan membuat analisa risiko berdasarkan kelompok-kelompok saja.
"Misalnya kalau bank ingin memberikan pinjaman kepada industri retail risikonya berapa," kata Jongki di Hotel Shangrila, Senin (22/6). Akibatnya, ketika akan memberikan pinjaman kepada nasabah, bank sebetulnya mendasarkan keputusannya pada informasi yang tidak mendalam, bukan pada hasil pengolahan data statistik.
Padahal, peraturan yang ditetapkan oleh BASEL II (ketentuan perbankan yang ditentukan Komite Basel) menuntut bank-bank membuat model pengukuran manajemen risiko lewat proses standart decision atau pengelompokan data perbankan dan internal rating based model (IRB). Bagaimana penerapan peraturan ini diserahkan kepada masing-masing bank, tetapi bank harus membuat model yang memenuhi risiko minimum.
Dalam rangka transisi implementasi Basel II tersebut SAS mengembangkan enterprise risk management (ERM) yang akan membantu industri perbankan menyediakan informasi tentang tindakan apa yang harus diambil terkait pemberian hutang berdasar statistik bank tersebut.
"Risiko adalah core dari industri perbankan. Selain credit risk berupa non-performing loan, juga ada market risk terkait inflasi misalnya dan legal risk yang menyangkut kebijakan bank," kata Jongki.
Model yang dikembangkan oleh SAS, Jongki menjelaskan, memberikan informasi tentang loss performance dari bank tersebut. "Yang kedua memberikan loss forecast, yaitu informasi tentang misalnya berapa kira-kira kredit macet kalau ada beberapa parameter yang berubah," ujarnya.
Yang ketiga, sistem aplikasi ini akan menghitung capital allocation atau berapa kecukupan modal yang harus dimiliki oleh bank untuk memberikan pinjaman kepada nasabah.
"Dengan informasi seperti ini bank akan lebih percaya diri ketika akan memberikan pinjaman. Bank akan memiliki pijakan apakah perlu menambah pinjaman atau harus diam," kata Jongki.
Sederhananya, lewat sistem aplikasi yang ditawarkan oleh SAS ini, bank akan tahu risiko dari setiap pinjaman yang diberikan kepada konsumen. "Apalagi sekarang bank banyak yang ragu apakah akan menambah kredit lebih banyak lagi meski didukung oleh pemerintah. Karena mereka takut kalau kredit yang mereka berikan tidak perform," ujar Jongki.
KARTIKA CANDRA