TEMPO.CO, Malang - Sebanyak 30 orang mengikuti pelatihan menghitung stok karbon di dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Baung, Pasuruan, Jawa TImur. Pelatihan diselenggarakan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa Timur, 17-19 Februari 2024.
Selain mendapatkan materi berupa teori, mereka juga praktik langsung, termasuk dengan mengambil sampel di lokasi. Nizam alias Oyik, salah satu warga setempat yang menjadi peserta pelatihan, mengatakan, mereka mengambil sampel dengan penuh kehati-hatian. Tiap sampel yang diambil mewakili karakteristik TWA.
Pengambilan sampelnya juga harus memenuhi standar operasional prosedur atau SOP. Misalnya, menggunakan sarung tangan supaya supaya semua sampel yang diambil, yaitu tanah, air sungai, dan lumpur, dalam kondisi steril.
“Hitungan bobot tiap sampel harus presisi karena semua itu nantinya dibawa ke laboratorium khusus untuk dihitung kandungan mikroba di masing-masing plot sampel atau plot contoh,” kata Nizam kepada Tempo, Sabtu 23 Maret 2024 malam.
TWA Gunung Baung berada di Desa Cowek, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Lokasinya persis di belakang Kebun Raya Purwodadi. Nama taman wisata ini merujuk pada nama Gunung Baung, gunung setinggi 501 meter di atas permukaan laut.
Lokasi pelatihan penghitungan karbon ini berada di zona pemanfaatan seluas 7 hektare yang dikelola Baung Canyon. Luas zona pemanfaatan hanya 3,6 persen dari 195,5 hektare luas TWA Gunung Baung.
Dalam pelatihan ini, sebagian besar peserta adalah staf teknis dan pejabat fungsional BBKSDA Jawa Timur. Pembicara dan fasilitator dalam pelatihan ini adalah Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (UB) Malang Kurniatun Hairiah, Ketua Program Studi Kehutanan Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Kutai Timur Liris Lis Komara, dan Pengendali Ekosistem Hutan Balai Besar KSDA Jawa Timur Tulus Pambudi.
Materi teori yang diberikan antara lain ilmu dasar karbon, metode pengukuran stok karbon dengan analisis vegetasi, metode pengukuran karbon dengan penginderaan jauh, dan analisis data. Namun, para peserta pelatihan lebih diarahkan untuk mengetahui praktek pengukuran stok karbon yang mencakup praktek pembuatan petak ukur permanen (PUP), praktek sampling bawah tanah, praktek sampling permukaan tanah, dan praktek sampling di atas tanah.
Kepala BBKSDA Jawa Timur Nur Patria Kurniawan mengatakan kepada Tempo, pelatihan ini merupakan bagian dari proyek percontohan pertama di wilayah Jawa Timur yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Saat ini, kata Nur Patria, seluruh sampel yang diambil sedang diproses oleh tim Liris Lis Komara di STIPER Kutai Timur. Penelitian serupa akan diterapkan di Pulau Sempu, cagar alam seluas 877 hektare yang berada di selatan Kabupaten Malang, dan kawasan konservasi yang dikelola BBKSDA Jawa Timur.
“Kami berencana, nantinya setiap pengelola kawasan konservasi segera melakukan pengukuran stok karbon sehingga dalam tahun ini kami sudah bisa mengeluarkan stok karbon dari dalam kawasan konservasi yang kami punya,” kata Nur Patria.
Balai Besar KSDA Jawa Timur menaungi 26 kawasan konservasi, dengan luas keseluruhan 30.928 hektare. Kawasan konservasi ini terdiri dari 20 cagar alam; tiga suaka margasatwa (Dataran Tinggi Yang seluas 14.177 hektare, Pulau Bawean seluas 3.831 hektare, dan Pulau Nusa Barung seluas 6.100 hektare), serta tiga taman wisata alam (Gunung Baung, Kawah Ijen seluas 92 hektare, dan Tretes seluas 10 hektare).
Nur Patria menjelaskan, pelatihan ini mengusung tema besar mitigasi perubahan iklim yang berhulu pada program Forestry and other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Kebijakan ini diamanatkan di dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Pada Pasal 3 ayat (4) disebutkan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca atau GRK utamanya didukung oleh sektor kehutanan dan lahan sebagai penyimpan karbon dengan pendekatan carbon net sink (penyerapan karbon bersih) yang mengacu pada jumlah penyerapan emisi karbon lebih banyak dari jumlah emisi karbon yang dilepaskan atau setidaknya tingkat serapan dan pelepasan emisi karbon dalam kondisi seimbang.
Program FOLU Net Sink 2030 menggunakan empat strategi utama: menghindari deforestasi; konservasi dan pengelolaan hutan lestari; perlindungan dan restorasi lahan gambut; serta peningkatan serapan karbon. Targetnya cukup ambisius, yaitu menghasilkan karbon negatif 140 juta ton pada 2030. Berdasarkan Keputusan Menteri LHK Nomor 168 Tahun 2022, target tersebut akan dicapai melalui 15 aksi mitigasi.
ABDI PURMONO