TEMPO.CO, Jakarta - Selain habitatnya yang terus menyempit, ada sejumlah dugaan penyebab berkurangnya harimau Jawa. Salah satunya tradisi masyarakat ratusan tahun lalu yang bernama rampogan.
Rampogan macan merupakan salah satu budaya yang telah lama dilakukan di Jawa. Dikutip dari skripsi Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung judul Rampogan Macan: Simbol Perlawanan Terhadap Kolonialisme Dalam Perayaan Hari Raya Ketupat, rampogan macan hampir sama dengan pertunjukan gladiator pada masa kekaisaran Romawi.
Pada beberapa pertunjukan harimau diadu dengan hewan lain, seperti gajah, banteng, dan kerbau. Beberapa lainnya ada juga yang mengadu antara macan dengan manusia.
Dilansir dari buku Bakda Mawi Rampog milik Kartawibawa yang terbit pada 1923, budaya ini lestari di Jawa pada abad ke 17-19 dan resmi di larang oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 karena menjadi salah satu penyebab punahnya harimau Jawa. Rampogan Macan diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam tepatnya pada masa pemerintahan Amangkurat II Kartasura.
Pertunjukan ini diadakan ketika ada kunjungan dari tamu agung seperti Gubernur Jendral Belanda dan pada perayaan hari besar Islam. Rampogan macan awalnya berpusat di Surakarta dan Yogyakarta, namun karena beberapa faktor maka pagelaran ini bisa sampai pada daerah-daerah luar keraton salah satunya adalah di Blitar.
Pada abad ke-19 macan dianggap mengganggu penduduk karena memangsa hewan ternak. Oleh karena itu penguasa pada saat itu memerintahkan untuk menangkap dan membunuh macan. Macan yang berhasil ditangkap akan dibunuh ketika berlangsungnya rampogan macan.
Rampogan macan dilakukan di alun-alun. Macan yang masih hidup dikurung dalam kerangkeng di utara alun-alun. Sebelumnya macan ditakut-takuti dengan obor agar bersembunyi dan masuk kedalam peti. Pada pintu peti terdapat sebuah tali panjang apabila ditarik maka tutup peti yang didalamnya berisi macan akan terbuka.
Ketika pertunjukan dimulai, orang-orang yang telah membawa senjata berupa tombak berbaris melingkari peti. Setelah terdengar suara gamelan, gendhing, dan tembang glagah kanginan. Salah satu orang yang diutus kerajaan berjalan menuju depan kotak. Kemudian orang tersebut akan memutus tali tutup peti.
Prajurit bergegas memberi asap dari alang-alang yang dibakar. Pembakaran alang-alang dilakukan dengan tujuan agar macan kepanasan sehingga mau keluar dari peti. Selain diadu dengan manusia macan juga diadu dengan hewan lain, biasanya menggunakan kerbau.
Sebelum diadu kerbau sudah digepyok (diolesi) dedaunan yang menimbulkan efek gatal-gatal di badan kerbau. Cara lain yang bisa digunakan biasanya disiram air cabai moncongnya sehingga kerbau berubah menjadi galak.
Kadang-kadang, jika macan atau harimau tidak bertarung dengan baik, dia dikeluarkan dari arena dan diganti dengan macan yang baru atau harimau lainnya untuk meningkatkan atmosfer tontonan.
Pilihan Editor: Publikasi Penelitian Harimau Jawa di Jurnal Ilmiah, Peneliti Sempat Sepelekan Temuan