TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat sipil pembela HAM dan masyarakat adat menyampaikan surat terbuka kepada Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) setelah delapan tahun lebih rancangan itu keluar masuk program legislasi nasional.
Sejak Januari lalu masyarakat sipil telah menyampaikan masukan substansi RUU KSDAHE dalam bentuk policy brief dan daftar inventarisasi masalah (DIM). Perwakilan Badan Registrasi Wilayah Adat, Cindy Julianty, mengatakan hingga draft terakhir yang diterima pada Desember 2023, tidak ada perubahan positif secara materil maupun formil dari proses legislasi RUU KSDAHE.
Menurut Cindy, pembahasan belum mengakomodir partisipasi publik. Ia menyebutkan DPR malah ingin segera mengesahkan RUU tersebut pada 11 Juli 2024. “Ada tiga alasan mengapa kami menolak pengesahan dan mendesak penundaan RUU KSDAHE, dan menuntut agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam mengesahkan RUU KSDAHE," ujar Cindy kepada Tempo, Kamis, 27 Juli 2024.
Pertama, ujarnya, proses legislasi RUU KSDAHE tidak transparan dan partisipatif (meaningfully participated) terutama dalam perumusan pasal–pasal. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya dokumen pada situs web (dpr.go.id) terkait pembahasan legislasi.
Kedua, tidak diakomodirnya usulan masyarakat sipil terkait aspek partisipasi masyarakat, perlindungan dan pengakuan hak–hak masyarakat adat dan masyarakat lokal.
Ketiga, masyarakat sipil menemukan pasal-pasal yang bermasalah, dan membuka peluang lebih banyak terjadinya potensi kriminalisasi, diskriminasi, pengabaian hak terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup didalam dan sekitar kawasan konservasi.
Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi, Satrio Manggala, mengatakan RUU KSDAHE menggunakan pendekatan represif untuk memastikan supaya kegiatan konservasi berjalan. Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk sanksi dan pemidanaan yang lebih berorientasi pada pidana penjara.
"Padahal pidana koservasi memiliki motif ekonomi, sehingga seharusnya lebih menekankan sanksi denda dan perampasan asset. Sanksi pidana ini juga bukan ditujukan untuk korporasi melainkan perorangan, sehingga membuka lebih banyak potensi kriminalisasi," kata Satrio kepada Tempo, Kamis.
Lebih lanjut, Satrio menilai RUU KSDAHE memiliki paradigma konservasi yang cenderung melihat
masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai ancaman, bukan sebagai mitra yang berkontribusi
dalam pengelolaan konservasi. Alhasil pendekatan yang dilakukan negara justru kembali memunculkan konflik dan mengeksklusi masyarakat dari ruang hidupnya.
Kritik lain disampaikan Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Moehammad Arman. Dia menyebutkan cara menghadapi persoalan penyelenggaraan konservasi hari ini yang tidak berbasis pada hak asasi manusia dan abai terhadap hak Masyarakat adat.
Berdasarkan pemantauan AMAN, menurut Arman, RUU KSDAHE juga tidak mengubah status quo, artinya tidak ada perubahan positif. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya partisipasi berarti dan persetujuan atas dasar tanpa paksaan di awal (Padiatapa) dalam penetapan kawasan konservasi.
"Kita tahu banyak dari kasus kriminalisasi terjadi akibat negara tidak memperhatikan aspek ini. Misalnya kasus di Colol, NTT, yang dikenal dengan 'Rabu Berdarah' yang menyebabkan enam orang tewas, 28 orang luka-luka dan tiga orang di antaranya cacat permanen, sehingga menjadi kekeliruan jika RUU tidak mengatur aspek hak dan partisipasi," kata Arman.
Menurut dia, aspek mendesak masuknya hak masyarakat adat karena ada 75 persen wilayah adat masuk ke dalam kawasan hutan di mana 1,6 juta hektare wilayah yang masuk dalam konservasi memiliki populasi sekitar 2,9 juta orang.
"RUU ini juga memiliki pasal bermasalah terkait dengan Areal Preservasi (Pasal 8) yang tidak jelas dan tidak menjawab tuntutan untuk mengakui aktor konservasi lain di luar negara," ungkapnya.
Pilihan Editor: Masih Ada PPDB Tahap Lanjutan di Jakarta, Siapa yang Bisa dan Tidak Bisa Mendaftar?