TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, mengatakan, akan berfokus untuk menyerap aspirasi dari berbagai pihak pada satu bulan awal masa jabatannya sebagai menteri. Menurut Mu’ti, masukan itu penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan tentang pendidikan, termasuk soal Ujian Nasional (UN).
Saat ini, belum ada pembahasan mengenai UN untuk siswa sekolah dasar dan menengah.
“Saya belum ada pembahasan tentang ujian nasional. Saya masih akan banyak mendengar sebelum mengambil keputusan strategis,” kata Abdul Mu’ti, pada Senin, 21 Oktober 2024.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu menyampaikan, pentingnya melihat persoalan pendidikan secara seksama melalui berbagai kajian. Selain dari penelitian tentang pendidikan di Indonesia, kajian ini juga berasal dari masukan masyarakat secara langsung.
Selain itu, Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, mengaku, pihaknya akan mempertimbangkan UN dengan tujuan dan fungsinya harus jelas.
“Sebenarnya UN itu juga mungkin kita harus pertimbangkan apakah menjadi penentu kelulusan atau UN sebagai data dan informasi bagaimana peta kondisi pendidikan kita secara nasional menyeluruh,” ucap Hetifah, pada Selasa, 29 Oktober 2024.
Penghapusan Ujian Nasional (UN)
Pada 2021, pemerintah secara resmi meniadakan UN untuk sekolah dasar dan menengah. Namun, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Totok Suprayitno, menekankan, UN tidak dihapus, tetapi diganti formatnya menjadi penilaian mengukur kompetensi siswa dan karakter.
“UN tidak dihapuskan. Namun diganti dengan evaluasi atau penilaian yang lebih baik. Karena kita ingin penilaian ini nantinya lebih mengarah pada tingkat penalaran siswa,” kata Totok, pada 12 Desember 2019 silam.
Totok menyatakan, selama ini UN didominasi oleh penguasaan konten mata pelajaran. Padahal, pada masa depan, siswa membutuhkan kemampuan bernalar.
“Jadi, perubahan itu yang tadinya UN lebih kepada menilai kepada pemahaman konten anak-anak kita, nanti lebih kepada kemampuan bernalar, kemampuan berpikir kritis,” kata dia.
Saat disinggung tentang menurunnya motivasi anak karena tidak ada UN, Totok mengatakan, kemampuan anak tidak bisa dibangkitkan saat ujian saja, tetapi harus dalam kesehariannya. Sementara itu, para guru harus melakukan penilaian yang sifatnya formatif atau perbaikan terus-menerus.
Di sisi lain, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) saat itu, Nadiem Makarim, menjelaskan, UN cenderung terlalu padat oleh mata pelajaran. Akibatnya, semua materi dan silabus harus dimasukkan ke dalam UN.
“Di situlah cara tercepat untuk mendapatkan angka tinggi di UN adalah untuk menghafal. Ini bukan perdebatan. Ini kenyataan yang terjadi di lapangan karena banyak sekali guru stres karena penilaian sekolahnya. Siswa dan orangtua stres karena seleksi dia ketahap berikutnya bergantung kepada angka ini,” ujarnya, pada 13 Desember 2019.
Nadiem menegaskan, hal itu bukanlah maksud dari UN. Ia mengatakan, UN seharusnya adalah penilaian sistem pendidikan dan tolak ukur. Menurutnya, tidak mungkin prestasi kita ditentukan oleh suatu tes pilihan ganda.
“Makanya sesuai undang undang, penilai murid hanya oleh satu orang, yaitu guru. Karena guru paling mengenal anak itu,” kata Nadiem.
Atas dasar tersebut, pemerintah mengubah penerapan Ujian Nasional (UN). Namun, saat ini, masyarakat banyak mengeluhkan kegagalan format baru yang digagas Nadiem sehingga menginginkan kembali penerapan UN.
RACHEL FARAHDIBA R | ANASTASIYA LAVENIA Y | HALIDA BUNGA
Pilihan Editor: Pro-Kontra Berbagai Tokoh Soal Penerapan Ujian Nasional yang Dikabarkan akan Diterapkan Lagi