TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah DI Yogyakarta (DIY) menargetkan bisa mengakhiri epidemi kasus HIV/AIDS pada 2030 mendatang. Dinas Kesehatan DIY masih ada sekitar 2 ribu kasus HIV yang tercatat di Kota Pelajar ini. Penjabat Wali Kota DIY, Sugeng Purwanto, mengatakan jumlah tersebut merupakan akumulasi 1.675 kasus HIV sepanjang periode 2004-2024 dan 329 temuan penderita AIDS.
"Pertumbuhan HIV dari Januari hingga September 2024 ada 92 kasus. dan kasus AIDS bertambah 14 kasus,” ujarnya pada Ahad, 3 November 2024.
Menurut Sugeng, upaya jangka pendek untuk menekan pertumbuhan penyakit tersebut sudah dituangkan dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) 2023-2027. Salah satu yang dikebut adalah Program Jalur Cepat 95-95-95. Program ini menargetkan 95 persen Orang Dengan HIV/Aids (ODHA) mengetahui statusnya, 95 persen ODHA melakukan pengobatan, dan 95 persen ODHA minum obat secara rutin.
"Kami berupaya mendorong setiap individu mengetahui status HIV pada dirinya,” ucap Sugeng. “Dengan melakukan tes, serta segera melakukan pengobatan antiretroviral (ARV) bagi ODHA.”
Pengecekan atau deteksi dini bisa dilakukan di 18 Puskesmas dan 13 rumah sakit di Yogyakarta, yang telah menjadi fasilitas kesehatan rujukan bagi penyandang HIV / AIDS. Bahkan, beberapa puskesmas, mulai dari Gedongtengen, Tegalrejo, Mergangsan, Umbulharjo I, serta Pakualaman sudah melayani calon pasien menyangkut HIV. Unit-unit kesehatan kecil ini memiliki fasilitas tes dan obat HIV, serta layanan pre-xposure Prophylaxis (PrEP) untuk mencegah penularan.
Puskesmas, menurut Sugeng, tidak memungut biaya dari ODHA. Layanan gratis itu mencakup pengecekan jumlah virus HIV melalui tes darah, serta pengambilan obat ARV untuk pengendalian virus tersebut.
Dia menambahkan Yogyakarta yang merupakan kota pariwisata juga bisa dimasuki penyakit HIV/AIDS. Hal ini membuat program deteksi dan penanganan dini dini menjadi krusial.
Yayasan Vesta Indonesia, organisasi nirlaba yang bergerak dalam penanganan HIV/AIDS juga mendorong masyarakat menjalani tes bila mendapat gejala penyakit tersebut. Direktur Yayasan Vesta Indonesia, Joko Hadi Purnomo, mengatakan kelompok berisiko paling didorong mengikuti tes ini, mulai dari wanita pekerja seks, waria, pengguna narkoba suntik, warga binaan lapas, lalu ibu hamil.
“Serta orang yang mendapat transfusi darah," ucapnya.
Pilihan Editor: Apple Dirumorkan Bakal Pasang Chip WiFi dan Bluetooth Buatan Sendiri pada iPhone 17