TEMPO.CO, Jakarta - CEO situs Megaupload, Kim Dotcom, akan tetap mendekam di balik jeruji besi setelah permohonan bandingnya ditolak oleh pengadilan. Dia yang juga dikenal dengan nama Kim Schmidt muncul di pengadilan wilayah North Shore pekan lalu.
Pria berusia 38 tahun ini ditahan bersama empat temannya setelah polisi menggerebek rumah mewah sewaannya yang bernilai US$ 30 juta atau Rp 268 miliar di Selandia Baru. FBI berusaha mengekstradisi mereka atas tuduhan pembajakan dan pelanggaran hak cipta musik, film, dan file penting.
Dotcom yang ingin tetap tinggal di Selandia Baru meminta hartanya dikembalikan. Jaksa Raynor Asher menyetujui putusan pengadilan sebelumnya. “Tak ada tuntutan agar Dotcom tetap tinggal di Selandia Baru, kecuali motivasinya untuk melawan tuduhan,” kata Asher.
Namun ia mengatakan ada kemungkinan FBI tak menyita seluruh harta milik Dotcom. Hakim pengadilan, David McNoughton, menyebutkan kasus situs Megaupload sebagai kasus pembajakan dunia maya terbesar di Amerika Serikat.
Dotcom menyangkal keterlibatannya dalam pembajakan dunia maya. Ia mengklaim dirinya dijebak oleh konspirasi yang dilakukan oleh otoritas Amerika Serikat.
Ia berkukuh tidak mau meninggalkan anak dan istrinya di Selandia Baru. Pria kelahiran Jerman itu menyatakan tak ada alasan meninggalkan negara itu. “Apabila saya ke luar negeri, saya tak mungkin bisa membekukan aset saya,” katanya.
Di pengadilan, Dotcom mengatakan dirinya mendapat telepon dari seseorang yang menawarkan jaminan yang akan menguntungkan dirinya. Orang itu sekaligus meminta sejumlah bayaran.
Ia mengaku dirinya dipukuli oleh polisi dalam proses penggerebekan.
Polisi menangkap Kim Dotcom dan tiga pekerjanya atas tuduhan memfasilitasi praktek pembajakan dan pencurian hak cipta, pertengahan bulan lalu. Megaupload mendapat keuntungan senilai US$ 500 juta atau Rp 4,5 triliun.
Dengan jumlah pengguna mencapai 150 juta, tentunya situs ini menjadi situs file-sharing terbesar. Megaupload memiliki basis di Hong Kong dan pemiliknya tinggal di Selandia Baru. Sejumlah server mereka terdapat di Virginia, Amerika Serikat.
NZ HERALD | THE TELEGRAPH | SATWIKA MOVEMENTI
Berita Terkait
Gara-gara Peta Gratis, Google Didenda Rp 6 Miliar
Pelukis Kantor Facebook Kaya Mendadak
Google Perbarui Penangkal Malware Android
Ilmuwan Waspadai Gunung Api Tua di AS
Udang Raksasa di Selandia Baru Mirip Kecoa
Apple Jadi Penjual Ponsel Ketiga Terbesar
Ilmuwan Ungkap Rahasia Kekuatan Jaring Laba-laba
Salatun Percaya UFO Hingga Akhir Hayat
RIM Tawarkan Aplikasi Android untuk PlayBook
Pengadilan Tolak Uang Jaminan Bos Megaupload