TEMPO.CO, Jerman - Sekilas, Rani dan Siswoyo, dua orang utan betina dewasa yang diselamatkan dari perdagangan ilegal, tampak serupa dengan mamalia berambut oranye lainnya di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Padahal keduanya berasal dari Sarawak, Kalimantan Barat.
Kesamaan rupa fisik ini kerap membuat peneliti kurang berhati-hati saat melepaskan kembali orang utan ke alam liar. “Seharusnya ada tes genetika untuk memastikan spesies orang utan sebelum melepasliarkan mereka,” kata Graham L. Banes dari Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Jerman, seperti dilansir dari Science Daily, Ahad, 28 Februari 2016.
Secara genetika, orang utan Kalimantan masuk sub-spesies Pongo pygmaeus pygmaeus, sementara orang utan Sumatera berada pada sub-spesies Pongo pygmaeus wumbii. Bila dikawinsilangkan, anak dari kedua spesies ini disebut orang utan hibrida, atau menurut Banes, sering juga disebut cocktail.
Banes mengatakan perkawinan silang ini ibarat pedang bermata dua. Keturunan hibrida dapat mengambil gen-gen unggul yang berbeda dari induknya, atau malah menjadi cacat.
Salah satu contoh yang diamatinya adalah Rani dan Siswoyo, yang tak melalui tes genetika sebelum penempatan di alam liar. Meski berasal dari Kalimantan, keduanya malah ditempatkan di Tanjung Puting, Sumatera. Akibatnya, terjadilah perkawinan silang di antara dua betina dengan pejantan-pejantan lokal yang berbeda spesies.
Rani merupakan contoh sukses dari perkawinan silang. Ia berhasil mengembangkan keluarga besar yang terdiri atas tiga generasi, beranggotakan 14 ekor. Meski dua keturunannya mati saat bayi, anggota keluarga lainnya sangat sehat dan tak membutuhkan intervensi kesehatan dari tim dokter.
Siswoyo tak seberuntung Rani. Keturunannya merupakan yang paling kecil bila dibandingkan betina lain di Tanjung Puting. Dua keturunannya meninggal saat bayi, dan siswoyo sendiri menyusul anak-anaknya akibat infeksi sepuluh hari kemudian.
Salah satu dari lima anak Siswoyo yang bertahan, Siswi, bernasib tak jauh dari ibunya. Salah satu bayinya meninggal karena lahir prematur, sementara bayi laki-lakinya yang bertahan hidup membutuhkan bantuan medis. Siswi sendiri juga tak memiliki kesehatan yang prima. Ia harus menjalani operasi rutin untuk memperbaiki organ dalamnya yang tak berfungsi normal.
Dari pengamatan ini, Banes menyuarakan tes genetika untuk dilakukan terlebih dulu sebelum melepaskan orang utan ke alam liar. Hal ini untuk memastikan tak ada lagi keturunan hibrida dengan cacat fisik. “Mereka mungkin terlihat sama, tapi sebenarnya mereka berasal dari garis keturunan yang berbeda,” ujarnya.
Saat ini, masih ada 1.500 orang utan yatim piatu dan tanpa tempat tinggal yang menunggu untuk kembali ke hutan. Bila kecacatan genetik karena perkawinan silang ini dibiarkan begitu saja, dampak yang ditimbulkan tak dapat diperbaiki dengan mudah.
SCIENCE DAILY | URSULA FLORENE