TEMPO.CO, Leuven - Sebuah studi menemukan bahwa disleksia (ketidakmampuan membaca dan berbicara) adalah akibat dari masalah konektivitas otak. Para ilmuwan memperkirakan bahwa gangguan ini mempengaruhi lebih dari 10 persen populasi dunia.
Seperti dikutip Livescience, Jumat, 6 Desember 2013, beberapa hipotesis menyatakan, pada orang dengan disleksia, suara yang terwakili dalam otak akan terganggu. Sementara hipotesis lainnya berpendapat bahwa otak pada orang disleksia dapat merepresentasikan suara dengan benar, hanya ada kesalahan dalam mengakses karena koneksi otak yang rusak.
Biasanya, ketika seseorang membaca atau mendengar bahasa, otak akan memetakan kemudian merepresentasikan kata-kata yang disebut dengan fonem. Representasi otak ini harus kuat. Misalnya pada suara 'b', otak harus memetakan kategori yang sama. Peta otak juga harus berbeda ketika membedakan bunyi huruf yang hampir sama, seperti 'b' dan 'd'.
Dalam studi terbaru, Bart Boets, psikolog klinis di KU Leuven, Belgia, dan timnya menggunakan pencitraan otak untuk menguji hipotesis tentang disleksia. Para peneliti memindai otak 23 remaja dengan disleksia dan 22 remaja normal. Mereka mencermati seberapa akurat otak akan memetakan suara.
Temuan mereka menunjukkan bahwa disleksia berasal dari kegagalan koneksi ke bagian otak yang merepresentasikan suara. "Datanya utuh. Tapi koneksi untuk mengakses data ini yang terdegradasi. Mungkin terlalu lambat atau entah bagaimana bisa terdistorsi," kata Boets.
Para responden dengan gangguan disleksia memiliki konektivitas yang buruk, terutama di daerah lobus frontal otak. Bagian otak ini berfungsi menghubungkan produksi suara serta bagian otak pendengaran kiri dan kanan. Selain itu, orang-orang dengan koneksi otak buruk memperlihatkan hasil buruk saat membaca dan berbicara.