Seorang wartawan foto memotret ruang pusat kontrol operasi reaktor nuklir No. 1 dan No. 2 diTokyo Electric Power Co. (TEPCO), Fukushima, (10/3). Reaktor tersebut bocor dihantam tsunami dan menimbulkan bencana nuklir terburuk setelah Chernobyl. REUTERS/Koji Sasahara/Pool
TEMPO.CO, Jakarta - Fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Fukushima, Jepang, rusak akibat dihantam tsunami pada 11 Maret 2011. Tiga tahun berlalu sejak bencana itu, Jepang siap untuk kembali mengoperasikan pembangkit-pembangkit listrik tenaga nuklir yang sempat dimatikan. Mereka pun membuat regulasi yang lebih ketat untuk mengantisipasi bencana serupa.
Takehiko Mukaiyama, ilmuwan energi nuklir dari Japan Atomic Industrial Forum-International Cooperation Center, mengatakan kerusakan pembangkit nuklir Fukushima sangat memukul Jepang. Akibat kejadian itu, operasi PLTN di seluruh Jepang dihentikan untuk pemeriksaan menyeluruh. Kondisi itu memaksa pemerintah membayar harga yang sangat mahal untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Tidak adanya pasokan energi nuklir membuat Jepang terpaksa membeli gas dan minyak dalam jumlah besar. "Pada 2013, Jepang menghabiskan 3,8 triliun yen untuk kompensasi penutupan reaktor nuklir," kata Mukaiyama pada konferensi pers di sela seminar bertajuk "Understanding the Fukushima Nuclear Accident and its Recovery Efforts" di Universitas Pancasila, Jakarta, Kamis, 20 Maret 2014.
Pada 2011, Jepang menghabiskan 2,4 triliun yen atau sekitar Rp 268 triliun untuk menutupi kerugian dari hilangnya pasokan energi nuklir. Sedangkan pada 2012, Jepang kembali kehilangan dana sebesar 3,2 triliun yen atau setara Rp 357 triliun hanya untuk membeli gas dan minyak. Dampak ekonomi yang besar itu membuat pemerintah Jepang memutuskan untuk menyalakan kembali reaktor nuklir.
Jepang bergantung pada 52 PLTN untuk memenuhi 30 persen kebutuhan energinya. Penghentian operasional PLTN membuat ekonomi negara itu berantakan.
"Orang Jepang sadar pentingnya PLTN untuk memasok energi dan ada desakan dari pihak industri untuk memperbaiki perekonomian," kata Mukaiyama.
Ia mengatakan pertengahan tahun ini ada dua PLTN yang diharapkan bisa segera beroperasi di Jepang. "Kami membuat regulasi nuklir yang lebih ketat," katanya.