TEMPO.CO, Karangasem – Merakit robot buatan sendiri. Itulah cita-cita I Wayan Sumardana alias Tawan, 31 tahun, asal Banjar Tauman, Desa Nyuhtebel, Kecamatan Manggis, Karangasem, yang belakangan ini mendadak terkenal lewat lengan prostetik temuannya. Tawan menuturkan sejak masih anak-anak ia sudah tertarik dengan teknik elektro.
“Saya melanjutkan pendidikan di SMK Rekayasa Jurusan Teknik Elektro, Denpasar, lulus tahun 2002. Cita-cita saya dari kecil memang sangat obsesi dengan robot. Pandangan saya saat masih anak-anak melihat teknologi cara kerja robot itu bisa membantu meringankan pekerjaan manusia,” katanya saat ditemui Tempo di rumahnya, Karangasem, Sabtu, 23 Januari 2016.
“Apalagi saya orang miskin, dari kecil saya sudah sering kerja berat memikul air. Saat itu saya juga sempat merasa apakah saya ini malas sehingga terobsesi membuat robot supaya pekerjaan bisa lebih ringan,” ujarnya.
Kendati mampu merakit lengan prostetik yang bisa membantu pergerakan tangan kirinya yang lumpuh, Tawan menilai teknologi temuannya itu tidak istimewa. Apalagi, kata dia, materi yang digunakan banyak yang menggunakan barang-barang rongsokan, barang-barang elektronik dari bengkel las tempat ia bekerja.
“Alat buatan saya ini hanya kelihatannya saja canggih, padahal biasa saja. Semua orang juga bisa buat,” tuturnya.
Ia menjelaskan cara kerja lengan prosetis yang terhubung lewat chip yang melingkar di kepalanya itu. Menurut dia, itu merupakan teknologi yang sederhana. “Penghubung antara lengan prostetis dan ikat kepala berisi chip yang saya gunakan persis sama seperti alat lie detector. Kalau dulu saya hanya pakai satu transistor, sekarang ada banyak yang jualan komplit,” ujarnya.
“EEG menangkap sinyal otak sama persis, seperti cara kerja lie detector. Jadi hanya cari transistornya, lalu menghubungkan pikiran. Kalau untuk dasar, alat ini sudah bisa membantu pekerjaan saya. Saya mau ganti pakai sensor lain supaya enggak berbahaya. Memang terasa lebih capek karena harus fokus agar sinyal tertangkap,” tuturnya.
Ia menilai kelemahan alatnya terkait dengan efek samping yang ia rasakan setelah memakai teknologi temuannya itu. Ia menjelaskan, terutama bagian chip yang melingkar di kepala. Setelah digunakan, tak jarang ia merasa mual, telinga berdengung. Bahkan, menurut dia, ketika menggunakan alat tersebut, nafsu makannya berkurang.
“Rasa lapar juga menjadi tidak terasa walaupun saya lelah bekerja. Waktu saya masih sehat, saya biasa sarapan pukul 08.00 Wita, kadang, pukul 10.00 Wita sudah terasa lapar lagi karena aktivitas bekerja. Sedangkan kalau saya menggunakan alat ini, sampai pukul 15.00 Wita tidak terasa lapar. Bagi saya ini kurang bagus karena mengurangi nafsu makan saya,” ujarnya.
Baca juga Tawan menanggapi tuduhan hoax :Jalan Hidup Tawan 'The Real Iron Man'
Efek samping itu, kata dia, langsung dirasakan 10 menit ketika alat tersebut dilepas. Selain itu, pengalaman lainnya yang pernah ia rasakan ialah saat ia tidur dan lupa melepaskan chip di kepalanya.
“Jadi tidak bisa mimpi, rasanya tidak seperti tidur, tapi masih seperti bekerja. Saya berhalusinasi, suhu badan saya panas dan badan saya terasa capek. Kalau mimpi itu menandakan tidur saya nyenyak,” katanya.
Tawan mengatakan masih perlu membenahi teknologi rakitannya itu. Namun ia berharap para akademikus yang bergelut dalam bidang tersebut mampu membantu menyempurnakan kelemahan alatnya.
“Alat ini sudah pasti banyak kelemahannya karena bahan-bahannya rongsokan. Saya pelajari ini lewat Internet dan buku-buku saat saya masih sekolah dulu. Maka, harapan saya, tentu saja saya butuh bantuan agar alat ini bisa lebih sempurna dengan bantuan akademikus,” tuturnya.
“Kelemahan alat ini, kalau ada kerusakan kecil saja, seluruhnya tidak bisa bekerja. Misalnya kalau kabel dipatuk ayam,” ujarnya.
BRAM SETIAWAN