Sejarah Lahirnya Kedokteran Nuklir, Bermula di Bandung
Reporter
Anwar Siswadi (Kontributor)
Editor
Erwin Prima
Selasa, 18 September 2018 09:14 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Berdirinya reaktor atom pertama di Bandung pada 1965, mendorong lahirnya kedokteran nuklir. Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung yang bermitra dengan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran mulai melayani pasien pada era 1970-an. Kini layanan serupa berkembang ke rumah sakit pemerintah dan swasta di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.
Baca: Kenapa Spesialis Kedokteran Nuklir Masih Langka di Indonesia?
Baca: Perkembangan Kedokteran Nuklir, Dosis Radioaktif Lebih Spesifik
Semula klinik kedokteran nuklir pertama yang diresmikan pada 1970 itu bertempat di Pusat Penelitian Tenaga Atom di Bandung. Selanjutnya menurut Guru Besar Kedokteran Nuklir Achmad Hussein Kartamihardja, pelayanan dipindah ke RSHS Bandung pada 1971. Dia sendiri baru masuk bergabung pada 1985. "Tempat itu masih sepi," katanya di sela pertemuan ilmiah tahunan internasional kedokteran nuklir ke-22 di Bandung, 14-16 September 2018.
Pada masa awal beroperasi, Kedokteran Nuklir di RSHS Bandung dijalankan oleh para dokter dengan beragam latar spesialisasi. Ahli dan tokoh kedokteran nuklir Johan Masjhur misalnya, formalnya dokter spesialis penyakit dalam atau internis. Sementara Hussein masih dokter umum. "Kami dulu disebut praktisi kedokteran nuklir," ujarnya.
Pendidikan spesialis kedokteran nuklir di Unpad baru dibuka pada 1999. Sampai kini, kata Hussein, Fakultas Kedokteran Unpad menjadi institusi tunggal di Tanah Air untuk program spesialis kedokteran nuklir. Meskipun telah hampir berusia setengah abad, peminat kedokteran nuklir masih sedikit. Dokter yang aktif sekitar 40-an orang.
Dokter lulusan kedokteran nuklir Ayu Rosemelia Dewi mengatakan selain menangani pasien, para dokter aktif melakukan riset, misalnya terkait dengan penggunaan radiofarmaka. "Sifatnya unik karena punya dua struktur yaitu radio aktif dan obat biasa. Kalau dikombinasi bisa menambah efektivitas obat," ujarnya di sela acara.
Riset itu biasanya bekerja sama dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional. Penelitian mencakup zat radio aktif hasil reaktornya untuk pengobatan. "Kerja sama riset sudah banyak dengan Batan dari riset prakilinis sampai manusia untuk radiofarmaka," kata Ayu.
Kebanyakan untuk kasus atau sekitar 80 persen terkait dengan onkologi seperti tumor dan kanker. Sementara untuk diagnostik mayoritas menangani kasus jantung. "Kita juga punya produk sendiri radiofarmaka," ujar Ayu. Bentuk radiofarmaka atau obat yang mengandung radio aktif itu beragam, seperti cairan yang bisa diminum atau suntikan, serta plester.
Simak artikel lainnya tentang kedokteran nuklir di kanal Tekno Tempo.co.