Sriwijaya Disebut Fiktif, Arkeolog: Bikin Masyarakat Gagal Paham
Reporter
Moh Khory Alfarizi
Editor
Yudono Yanuar
Selasa, 10 September 2019 13:11 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Utama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Bambang Budi Utomo kembali memberikan tanggapan mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sempat ramai dibicarakan karena disebut fiktif. Tomi sapaan Bambang menceritakannya melalui akun media sosial Facebook pribadinya Bambang Budi Utomo.
"Entah sedang mabuk apa, seorang kakek (Ridwan Saidi) merancau tentang prasasti-prasasti Sriwijaya. Celakanya, tidak seluruh anggota masyarakat tahu kalau kakek itu sedang merancau. Akibatnya banyak masyarakat yang tidak tahu apa aksara yang dipahatkan pada batu prasasti, apa bahasanya, apalagi apa artinya," tulis Tomi, Senin, 9 September 2019.
Sebelumnya, Budayawan Betawi Ridwan Saidi dalam dua video di kanal Youtube mengatakan, Kerajaan Sriwijaya fiktif dan dianggapnya sebagai gabungan bajak laut. Dua video yang berisi pernyataan Babe Ridwan tentang Sriwijaya ini diunggah oleh akun YouTube bernama Macan Idealis.
Video pertama berdurasi 15 menit diunggah pada 23 Agustus 2019, sedangkan video kedua berdurasi 20 menit diunggah pada 24 Agustus 2019.
Tomi mencatat bahwa Babe Ridwan melontarkan kata-kata bahwa prasasti-prasasti Sriwijaya yang ada di Sumatra, terutama di Palembang semuanya kopian dari prasasti-prasasti yang ada di Champa. Tomi sebenarnya tidak ingin menanggapi Babe Ridwan, tapi harga dirinya merasa dijatuhkan akibat pernyataan tentang Sriwijaya fiktif itu.
"Saya sebagai peneliti arkeologi yang sudah lebih dari 30 tahun meneliti Sriwijaya. Saya sangat khawatir akan pemahaman masyarakat terhadap rancauan si Kakek. Bahasa gaulnye masyarakat bisa gagal paham. Emang sih, kalau kita perduli akan sikit repot," tulis Tomi.
Tomi menguraikan secara singkat beberapa prasasti Sriwijaya yang dianggapnya penting. Kedatuan Sriwijaya-demikian akrabnya disebut-merupakan sebuah institusi yang terdiri dari kumpulan para datu, dimana pada awal berdirinya dipimpin oleh Dapunta Hyan Sri Jayanasa.
Di Nusantara, Tomi menjelaskan, Sriwijaya merupakan satu-satunya institusi yang perjalanan sejarahnya dicatat dalam prasasti. Atau dapat dikatakan merupakan institusi yang punya “akte kelahiran”.
"Prasasti-prasasti Sriwijaya (utuh maupun fragmen) yang ditemukan seluruhnya berjumlah sekitar 31 buah prasasti batu di Provinsi Lampung, Jambi, Bangka-Belitung, dan Sumatera Selatan," ujar Tomi. "Tempat yang terbanyak ditemukan prasasti Sriwijaya ada di Palembang, seluruhnya berjumlah 23 buah."
Tomi melanjutkan, tiga di antaranya penting untuk menentukan bahwa kota awal Sriwijaya (abad ke-7 Masehi) ada di Palembang, yaitu Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo, dan Prasasti Telaga Batu. Prasasti-prasasti Sriwijaya, Tomi berujar, ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.
"Inilah keistimewaan prasasti-prasasti Sriwijaya dimana Bahasa Melayu pertama kalinya ditulis/dipahatkan pada prasasti batu, dan memang di daerah sekitar Selat Karimata – Selat Malaka – Laut Natuna Utara/Tiongkok Selatan Bahasa Melayu dipakai sebagai Lingua Franka (bahasa pergaulan)," tutur Tomi.
Di Jawa pada masa Kerajaan Medan, Bahasa Melayu ditulis dalam aksara Jawa Kuno, misalnya Prasasti Dan pu Hawan Glis. Terakhir setelah agama Islam masuk Bahasa Melayu ditulis dalam aksara Jawi (aksara Arab). Tomi juga sedikit menjelaskan isi dari prasasti-prasasti tersebut.
Hingga berita ini ditayangkan, cuitan Tomi tentang Sriwijaya disukai oleh 177 orang, dengan komentar 56, dan dibagikan sebanyak 60 kali.