Ratusan Ribu Hektare Karhutla, Siapa Membakar Lahan Gambut?

Reporter

Tempo.co

Editor

Erwin Prima

Sabtu, 28 September 2019 07:15 WIB

Relawan mencoba memadamkan kebakaran lahan dan hutan gambut di Kabupaten Pulang Pisau dekat Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 13 September 2019. Minimnya peralatan aman, membuat banyaknya relawan yang hanya menggunakan sandal saat memadamkan api. REUTERS/Willy Kurniawan

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat hutan dan lahan gambut yang terbakar sepanjang tahun ini mencapai 328 ribu hektare, sebagaimana dilaporkan Majalah Tempo edisi 23 September 2019. Walhasil, asap menyebar ke berbagai wilayah, bahkan hingga Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Kabut asap juga mengakibatkan sekolah di sejumlah provinsi diliburkan dan penerbangan terganggu. Adapun luas lahan yang terbakar di lahan konsesi lebih dari 9.000 hektare.

Kondisi serupa melanda Indonesia pada 2015. Saat itu, ada sekitar 2,6 juta hektare hutan dan lahan yang terbakar. Hasil riset Bank Dunia yang dirilis pada Februari 2016 menunjukkan kerugian mencapai US$ 16,1 miliar atau sekitar Rp 221 triliun.

Hingga Jumat dua pekan lalu, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK telah menyegel lahan milik 52 perusahaan dan seorang individu di Sumatera dan Kalimantan. Menurut Rasio, jumlahnya mungkin bakal terus bertambah.

Untuk kebakaran tahun ini, KLHK menetapkan lima perusahaan sebagai tersangka pembakaran hutan. Dua di antaranya PT Arrtu Borneo Perkebunan dan Arrtu Borneo Resources. Kedua perusahaan itu dimiliki PT Eagle High Plantations, perusahaan yang dimiliki PT Rajawali Corpora—perusahaan yang sahamnya dipunyai pengusaha Peter Sondakh—dan Felda, perusahaan asal Malaysia. Berdasarkan pemetaan Auriga Nusantara, di lahan Arrtu Energie Resources tahun ini muncul 143 titik panas.

Advertising
Advertising

Peter tak menjawab pertanyaan yang diajukan Tempo. Begitu pula Sekretaris Perusahaan Eagles High Plantations Satrija Budi Wibawa. Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Togar Sitanggang membantah kabar bahwa anggota asosiasinya terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan. “Untuk apa kami membakar investasi kami sendiri?” ujarnya.

Togar menyalahkan penduduk sekitar perkebunan yang kerap membakar lahan. Menurut dia, pembakaran itu akhirnya merembet ke perkebunan milik perusahaan. “Dengan musim kemarau panjang dan angin kencang, akhirnya timbul kebakaran. Yang mudah disalahkan ya perusahaan sawit.”

Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan tak tertutup kemungkinan perusahaan membakar sendiri lahannya. “Alibinya memang begitu, tidak mungkin membakar lahan sendiri. Tapi bisa saja mereka membakar untuk mengganti tanaman yang kualitasnya jelek,” ujarnya.

Tempo menemui seorang pelaku pembakaran lahan yang mengaku sudah bertobat. Abdul, bukan nama sebenarnya, warga Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau, mengatakan selalu menggunakan obat nyamuk bakar yang pangkalnya diberi batang korek api berlumur minyak tanah atau bensin. Saat situasi sepi, obat nyamuk berbentuk spiral itu diletakkan di lahan gambut kering. Ketika api melalap gambut dan serasah di sekitarnya, dia sudah berada di rumah.

Cara itu jauh lebih murah dan cepat untuk membuka lahan. Jika menyewa alat berat, kata Abdul, biayanya Rp 600 ribu per jam atau Rp 7 juta dengan sistem borongan per hektare. Menurut dia, cara ini jamak dilakukan peladang ataupun mereka yang bekerja di perusahaan sawit.

Dosen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Asep Sofyan, mengatakan membakar lahan merupakan cara lawas yang masih digunakan sebagian masyarakat petani untuk menetralkan tingkat keasaman gambut.

Ongkos membuka lahan pun lebih murah ketimbang menyewa alat berat. Mereka juga memakai kearifan lokal dengan membangun sekat bakar untuk mencegah api menjalar. “Tidak dibakar dalam waktu bersamaan, dan membatasi jumlah lahan yang dibakar,” kata peneliti di Pusat Studi Lingkungan Hidup ITB itu.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo mengatakan hampir semua kasus kebakaran hutan terjadi karena kesengajaan. Menurut dia, 99 persen penyebab kebakaran adalah manusia, sisanya alam. “Mayoritas pelaku menerima bayaran,” ujar Doni.

Senada dengan Doni, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Raffles B. Panjaitan mengatakan bisa saja perusahaan membayar orang untuk membakar lahannya. Setelah itu, perusahaan menikmati hasilnya. "Biasanya, setelah terbakar, ditanami sawit atau berubah menjadi perumahan.”

Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengatakan gambut mudah terbakar meski tak dipicu api, seperti jika ada panas berlebihan. Itulah sebabnya dibutuhkan tanaman tutupan di atasnya.

Namun, Guru Besar Bidang Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, mengatakan sepanas apapun gambut, namun karena gambut itu bahan bakar, maka dia tidak akan terbakar dengan sendirinya dan untuk terbakar itu perlu nyala api.

Berita terkait

22 Ribu Hektare Lahan Sawit PT SCP Diduga Berada dalam Kawasan Hutan, Kerap Memicu Kebakaran

3 hari lalu

22 Ribu Hektare Lahan Sawit PT SCP Diduga Berada dalam Kawasan Hutan, Kerap Memicu Kebakaran

22 ribu hektare perkebunan sawit PT Suryamas Cipta Perkasa (PT SCP) masuk kawasan hutan hidrologis gambut di Kalimantan Tengah.

Baca Selengkapnya

Peneliti BRIN Pertanyakan Benih Padi Cina Mampu Taklukkan Lahan Kalimantan

4 hari lalu

Peneliti BRIN Pertanyakan Benih Padi Cina Mampu Taklukkan Lahan Kalimantan

BRIN sampaikan bisa saja padi hibrida dari Cina itu dicoba ditanam. Apa lagi, sudah ada beberapa varietas hibrida di Kalimantan. Tapi ...

Baca Selengkapnya

Amerika Perkuat Infrastruktur Transportasinya dari Dampak Cuaca Ekstrem, Kucurkan Hibah 13 T

11 hari lalu

Amerika Perkuat Infrastruktur Transportasinya dari Dampak Cuaca Ekstrem, Kucurkan Hibah 13 T

Hibah untuk lebih kuat bertahan dari cuaca ekstrem ini disebar untuk 80 proyek di AS. Nilainya setara separuh belanja APBN 2023 untuk proyek IKN.

Baca Selengkapnya

BRIN Tawarkan Model Agrosilvofishery untuk Restorasi Ekosistem Gambut Berbasis Masyarakat

11 hari lalu

BRIN Tawarkan Model Agrosilvofishery untuk Restorasi Ekosistem Gambut Berbasis Masyarakat

Implimentasi model agrosilvofishery pada ekosistem gambut perlu dilakukan secara selektif.

Baca Selengkapnya

Pertama di Dunia, Yunani Berikan Liburan Gratis sebagai Kompensasi Kebakaran Hutan 2023

19 hari lalu

Pertama di Dunia, Yunani Berikan Liburan Gratis sebagai Kompensasi Kebakaran Hutan 2023

Sebanyak 25.000 turis dievakuasi saat kebakaran hutan di Pulau Rhodes, Yunani, pada 2023, mereka akan mendapat liburan gratis.

Baca Selengkapnya

Penyebab Kebakaran 10 Hektare Lahan di Karimun Kepulauan Riau Masih Misterius

44 hari lalu

Penyebab Kebakaran 10 Hektare Lahan di Karimun Kepulauan Riau Masih Misterius

Di tengah banyaknya bencana basar di Indonesia, masih ada 10 Ha lahan terbakar di Kepulauan Riau. Sebabnya belum diketahui.

Baca Selengkapnya

BNPB Ingatkan Banyaknya Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera

45 hari lalu

BNPB Ingatkan Banyaknya Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera

Dari data BNPB, kasus kebakaran hutan dan lahan mulai mendominasi di Pulau Sumatera sejak sepekan terakhir.

Baca Selengkapnya

Risiko Karhutla Meningkat Menjelang Pilkada 2024, Hotspot Bermunculan di Provinsi Rawan Api

48 hari lalu

Risiko Karhutla Meningkat Menjelang Pilkada 2024, Hotspot Bermunculan di Provinsi Rawan Api

Jumlah titik panas terus meningkat di sejumlah daerah. Karhutla tahun ini dinilai lebih berisiko tinggi seiring penyelenggaraan pilkada 2024.

Baca Selengkapnya

Penugasan Jokowi, BMKG Bentuk Kedeputian Baru Bernama Modifikasi Cuaca

49 hari lalu

Penugasan Jokowi, BMKG Bentuk Kedeputian Baru Bernama Modifikasi Cuaca

Pelaksana tugas Deputi Modifikasi Cuaca BMKG pernah memimpin Balai Besar TMC di BPPT. Terjadi pergeseran SDM dari BRIN.

Baca Selengkapnya

Tentang Musim Kemarau yang Menjelang, BMKG: Mundur dan Lebih Basah di Banyak Wilayah

49 hari lalu

Tentang Musim Kemarau yang Menjelang, BMKG: Mundur dan Lebih Basah di Banyak Wilayah

Menurut BMKG, El Nino akan segera menuju netral pada periode Mei-Juni-Juli dan setelah triwulan ketiga berpotensi digantikan La Nina.

Baca Selengkapnya