Ini Proses Likuefaksi: Terjadi Saat Guncangan Gempa
Reporter
Moh Khory Alfarizi
Editor
Yudono Yanuar
Selasa, 1 Oktober 2019 12:49 WIB
TEMPO.CO, Jakarta-Penelti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan bagaimana proses terjadi likuefaksi. Menurut Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Adrin Tohari, pemicu terjadinya likueaksi pada lapisan pasir lepas adalah guncangan gempa bumi.
"Proses terjadinya likuefaksi diawali dengan kenaikan tekanan air dalam pori-pori tanah akibat goncangan gempa. Sehingga menyebabkan ikatan antar butiran pasir menghilang dan kekuatan lapisan pasir berkurang," ujar Adrin kepada Tempo melalui percakapan WhatApp, Senin, 30 September 2019.
Likuefaksi adalah suatu fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah pasir lepas yang jenuh air akibat goncangan gempa bumi. Sehingga mengakibatkan lapisan pasir berprilaku seperti cairan.
Likuefaksi terjadi saat guncangan gempa bumi terjadi. "Gempa bumi dengan magnitude lebih dari 6,0 bisa menyebabkan likuefaksi asalkan gempa bumi tersebut menghasilkan percepatan tanah puncak lebih dari 0,1 g dan durasi lebih dari 1 menit," kata Adrin.
Adrin yang juga meneliti potensi likuefaksi di Kota Padang menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang mengontrol terjadinya likuefaksi yakni kepadatan lapisan tanah pasir, kondisi kejenuhan lapisan pasir, besaran gempa, percepatan tanah puncak dan durasi guncangan gempa.
Likuefaksi, Adrin menambahkan, menyebabkan deformasi pada lapisan tanah berupa gerakan osilasi (ground oscillation), perpindahan lateral (lateral spreading), penurunan tanah (ground settlement), dan likuefaksi aliran.
"Likuefaksi aliran merupakan fenomena likuefaksi yang terjadi di Kota Palu (Balaroa dan Petobo) dan Kabupaten Sigi (Jono Oge, Lolu dan Sibalaya Selatan) yang menimbulkan korban jiwa dan berpindahnya pemukiman dan jalan," tutur Adrin memberikan contoh.
Peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Nugroho Dwi Hananto mendukung penjelasaan Adrin, yang menyebutkan bahwa terjadinya likuefaksi musti ada penyebabnya.
"Musti ada penyebab yang mengadu sedemikian rupa sehingga lapisan sedimen dan pasir bercampur sedemikian rupa dan menjadi cair seperti bubur. Energi yang diperlukan untuk proses ini besar, dan dihasilkan oleh gempa bumi," ujar Nugroho.
Sehingga, apabila terjadi gempa berkekuatan besar, kata Nugroho, maka boleh jadi potensi likuefaksi terjadi. "Dengan demikian, terjadinya likuefaksi adalah karena gempa yang cukup besar. Tergantung gempa dan lokasinya," tutur Nugroho.
Likuefaksi terjadi di Palu Sulawesi Tengah pada 28 September 2019, yang ditimbulkam gempa bermagnitudo 7,4. Dua lokasi yang terdampak adalah Kelurahan Balaroa dan Petobo, wilayah itu hampir rata dengan tanah karena fenomena geologi itu.
Namun, Nugroho memperjelas bahwa sebenarnya likuefaksi tersebut bukan berulang, tapi apakah terjadi di tempat yang sama atau tidak. Soalnya, menurutnya, setelah likuefaksi struktur bawah permukaannya menjadi sangat berbeda dengan sebelum likueaksi.
"Artinya likuefaksi belum tentu terjadi ketika ada gempa. Untuk melihat wilayah tersebut memiliki potensi terjadinya likuefaksi atau tidak harus ada data bawah permukaan tanah biar akurat," ujar Nugroho. "Data struktur kekuatan, struktur lapisan tanahnya, data kandungan air di bawah permukaan juga."