Kekecewaan dan Kronologis Amerika Terpuruk di Pandemi COVID-19
Reporter
Terjemahan
Editor
Zacharias Wuragil
Kamis, 2 April 2020 22:33 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan pemerintahannya menghadapi banyak kritik yang mengatakan kalau mereka tidak merespons cukup cepat terhadap datangnya wabah COVID-19. Dampaknya, hingga artikel ini dibuat virus corona penyebab wabah itu telah menginfeksi 216.722 orang di negara adidaya itu, sebanyak 5.140 di antaranya meninggal.
Termasuk mereka yang mengkritik adalah Ashish Jha, direktur di Harvard Global Health Institute, Amerika Serikat. Dia mengatakan, andai uji atau pemeriksaan massal terhadap masyarakat serta karantina wilayah-wilayah dilakukan lebih awal, "Kita akan memiliki situasi yang berbeda sekarang."
Berdasarkan data di Johns Hopkins University, Amerika menempati urutan tertinggi di dunia untuk jumlah kasus infeksi. Sedang angka kematiannya berada di bawah Italia dan Spanyol, di atas Prancis dan Cina.
Bicara di program televisi CNN, Rabu 1 April 2020, Jha menyatakan mengapresiasi gugus tugas bentukan Gedung Putih untuk penanggulangan COVIDS-19 di Amerika Serikat. Namun dia percaya semua ahli kesehatan masyarakat setuju dengannya tentang situasi yang berbeda itu andai pemeriksaan massal, persiapan rumah sakit-rumah sakit, serta perintah karantina wilayah sudah dilakukan lebih awal.
Jha juga menyoroti pengujian massal yang masih juga tidak banyak dilakukan di beberapa negara bagian. Mereka dinilainya sengaja tidak memeriksa warganya karena menganggap tidak punya banyak kasus.
"Tapi saya tidak yakin mereka tidak punya banyak kasus," katanya, "Mereka hanya tidak mau memeriksa dan ketika tidak memeriksa, Anda tidak akan menemukan kasus."
Jha pantas kecewa karena telah sejak sebulan lalu telah mengungkap yang sama. Saat itu dia menanggapi keberhasilan Singapura dan Hong Kong memperlambat penyebaran dan dampak wabah COVID-19 di negara masing-masing.
<!--more-->
Seolah memprediksi apa yang terjadi saat ini, kala itu Jha mengatakan, "Ada negara-negara lain yang kelihatannya tidak peduli dan saya kira kini menderita karenanya."
Lalu bagaimana dengan Amerika Serikat? Saat itu juga Jha menjawab, "Respons di negara kami lebih buruk lagi dari kebanyakan negara yang terinfeksi," kata Jha.
Dia membandingkannya dengan Vietnam yang disebutnya telah lebih baik karena memeriksa lebih banyak orang daripada yang dilakukan di Amerika pada waktu yang sama. Jha menggunakan frase 'keras kepala', 'memalukan', dan 'luar biasa' untuk melukiskan penilaian buruknya atas apa yang terjadi di negaranya sendiri saat itu. "Saya tidak bisa memahaminya," kata dia terdengar putus asa.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS sebenarnya telah memulai menapis para pendatang dari luar negeri untuk mencegah infeksi virus corona masuk Amerika pada pertengahan Januari. Tapi saat itu alat uji yang digunakan CDC ternyata tidak memberi data yang benar.
Amerika Serikat butuh dua minggu untuk menyelesaikan masalah alat itu sebelum bisa memulai kembali pengujian massal pada pekan kedua Maret. Jha percaya delay berminggu-minggu untuk penggunaan alat yang baru itu--padahal ada banyak alat lain yang bisa digunakan yang bisa didapatkan dari negara lain--telah sepenuhnya membuat respons Amerika terhadap COVID-19 terbengkelai.
"Tanpa dilakukan pemeriksaan sampel-sampel, Anda tidak akan tahu seberapa jauh penularan yang telah terjadi. Anda tidak bisa mengisolasi orang-orang. Anda tidak bisa melakukan apa-apa," kata Jha lagi, 12 Maret 2020.
THE HILL | NPR