Dentuman Misterius, Ini Kata BMKG Soal Skyquake dan Teori Lainnya
Reporter
Anwar Siswadi (Kontributor)
Editor
Zacharias Wuragil
Rabu, 15 April 2020 09:45 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Suara dentuman berulang kali yang terdengar warga Jakarta dan sekitarnya tak berselang lama dari letusan Gunung Anak Krakatau pada akhir pekan lalu masih misterius. Ini berbeda dengan yang pernah terjadi dua tahun lalu.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau BMKG, Daryono mengungkapkan, dua tahun lalu, suara dentuman bisa diketahui sumbernya yakni berkaitan dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau yang sedang erupsi. Suara didengar Sebagian warga Sumatera Selatan dan Jawa Barat.
“Kini suara dentuman misterius itu muncul lagi saat Gunung Anak Krakatau juga sedang erupsi,” ujar Daryono, Selasa 14 April 2020.
Dugaan terdekat bahwa dentuman bersumber dari Gunung Anak Krakatau telah dibantah. Alasannya, suara dentuman tidak terdengar di Pasauran (Banten) dan Kalianda (Lampung).
Menurut Daryono, belum ada yang dapat mengungkap penyebab sumber bunyi dentuman terbaru tersebut disertai bukti-bukti ilmiahnya. Sementara sejumlah spekulasi telah disampaikan sejumlah ahli yang berbeda namun dipandang BMKG memiliki kelemahan masing-masing.
Ada yang menduga suara dentuman dari gempa tektonik. Lindu, kata Daryono, memang dapat mengeluarkan bunyi ledakan tapi jika kekuatan atau magnitudonya cukup signifikan dan kedalaman sumber gempanya tergolong sangat dangkal.
“Suara ledakan yang timbul saat gempa biasanya hanya sekali saja saat terjadi deformasi batuan utama, tidak seperti dentuman yang beruntun terus menerus,” ujar Daryono.
Ada yang mengaitkan suara itu mirip peristiwa dentuman gempa Bantul, Yogyakarta 2006. Dalam beberapa kasus, kata dia, gempa Bantul memang menyebabkan timbulnya suara dentuman karena sumbernya dangkal dan dekat zona karst yang bawah permukaannya berongga, sehingga dapat menjadi sumber bunyi jika ada pukulan gelombang seismik.
<!--more-->
“Tetapi bunyi dentumannya tidak terus menerus, satu gempa menghasilkan satu detuman,” katanya.
Sumber suara dentuman juga bisa dari peristiwa longsor batuan, namun dugaan ini dinilainya lebih lemah. “Peristiwa longsoran tidak mungkin terjadi secara berulang-ulang, terus menerus sebanyak dentuman yang didengarkan masyarakat,” kata Daryono.
Selain itu ada yang mengaitkan dengan Skyquake, sebuah istilah menyebut suara-suara yang datang dari langit. Menurut Daryono, masyarakat awam kini banyak yang ikut-ikutan mengunakan istilah Skyquake itu padahal belum memahami konsep ilmiahnya.
Konsep yang sudah mapan terkait bunyi yang bersumber dari peristiwa atmosferik di langit, Daryono menerangkan, sudah ada, seperti acoustic wave, infrasonic wave, atau sonic boom. Tapi saat terjadi dentuman, tidak ada laporan dari stasiun pendeteksi sonic boom dan tidak ada pesawat terbang dengan kecepatan suara.
“Sehingga fenomena Skyquake sebagai sumber dentuman saat itu terbantahkan,” ujarnya.
Kemudian ada ahli yang menduga suara dentuman berasal dari petir. Merujuk beberapa literatur, kata Daryono, pada kondisi atmosfer ideal suara petir paling jauh yang dapat terdengar sekitar 16-25 kilometer. “Sulit diterima jika dikatakan petir yang sama dapat didengar oleh warga di Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Palabuhanratu,” katanya.
Dia mencontohkan jika petir terjadi di Kota Bogor maka tempat terjauh di utara yang dapat mendengar hanya sampai Kota Depok dan tidak sampai ke Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Untuk arah tenggara dan selatan maka tempat terjauh yang masih dapat mendengar petir tersebut adalah daerah Gunung Gede-Pangrango dan tidak sampai ke Sukabumi dan Palabuhanratu.
Bunyi petir juga sangat khas dimana orang awam dengan mudah mengenalinya, sementara suara pagi itu lebih mirip dentuman yang berbeda dengan suara petir.