Teknologi Satelit Tangkap Basah Dark Fleets Cina di Laut Korea
Reporter
Tempo.co
Editor
Zacharias Wuragil
Kamis, 23 Juli 2020 12:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kolaborasi ilmuwan dari Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat menelanjangi aktivitas tangkap ikan ilegal ratusan kapal asal Cina di perairan Korea, Jepang, dan Rusia. Kapal-kapal yang tak menggunakan sistem komunikasi gelombang radio publik dan tak berbendera itu tertangkap basah lewat empat teknologi satelit sekaligus.
Dipublikasikan dalam jurnal Science Advances, Kamis 23 Juli 2020, tim ilmuwan itu memberi judul hasil studinya 'Illuminating Dark Fishing Fleets in North Korea'. Isinya, temuan lebih dari 900 kapal 'dark fleets' pada studi 2017 dan sekitar 700 kapal pada studi 2018.
Melanggar batas perairan negara, kapal-kapal itu diperhitungkan telah mengeruk lebih dari 160 ribu ton cumi-cumi terbang Pasifik senilai $ 440 juta di perairan itu pada 2017-2018. Jumlah itu setara hasil tangkapan nelayan Jepang dan Korea Selatan digabung jadi satu dalam periode yang sama.
Jaeyoon Park, peneliti data di Global Fishing Watch yang juga anggota tim studi, menyebut skala dark fleets yang ditemukan itu sekitar sepertiga dari seluruh kapal tangkap ikan dilaut lepas asal Cina. Menurut Park, itu menjadikannya kasus pencurian ikan terbesar yang pernah ditemukan di sebuah perairan oleh kapal-kapal asal satu negara yang sama.
“Dengan mensintesis data dari beragam sensor satelit, kami menghasilkan sebuah potret yang begitu jelas, tak terduga, dari aktivitas penangkapan ikan di sebuah kawasan perairan abu-abu," kata Park dalam keterangan tertulis yang dibagikan Global Fishing Watch, Kamis 23 Juli 2020.
Park menunjuk sanksi PBB di perairan Korea Utara yang berlaku sejak 2017 gara-gara uji rudal balistik. Sedang telunjuknya mengarahkan kepemilikan dan kepentingan kapal-kapal itu ke Cina berdasarkan asal mula pelayaran yang terdeteksi. Pelacakan penting sejak kapal-kapal itu tak berbendera, tanpa izin, dan tidak pernah memberi tahu keberadaannya kepada otoritas.
<!--more-->
Sebanyak 900 dan 700 kapal pada 2017 dan 2018 itu belum termasuk 3.000-an perahu yang lebih kecil yang juga ditemukan dengan status sama di perairan Rusia. Perahu-perahu ini diduga milik nelayan Korea Utara yang tergusur karena kalah berkompetisi di perairan wilayah negaranya sendiri. Perahu tipe yang sama juga beberapa tahun terakhir kerap ditemukan di perairan Jepang.
"Perahu kayu yang miskin peralatan dari Korea Utara nekat berlayar jauh hingga ke perairan Rusia," kata Jungsam Lee dari Institut Maritim Korea, juga anggota tim studi.
Tim ilmuwan gabungan itu tak bisa menemukan sebaran kapal-kapal itu jika hanya mengandalkan sistem identifikasi otomatis (AIS), sebuah sistem penentuan lokasi kapal di laut berbasis satelit yang biasa digunakan untuk keselamatan pelayaran--untuk menghindari kapal saling bertabrakan. Sistem ini sebenarnya mampu menyediakan informasi detil setiap kapal, tapi masalahnya tak digunakan semua kapal.
Park dkk menambahkan pencitraan radar dalam studinya. Citra satelit ini bisa menembus awan dan mengidentifikasi kapal-kapal besar pengguna material dari logam.
Tak cukup dua itu, ditambahkan pula penggunaan teknologi pencitraan malam. Satelit melacak dan memetakan keberadaan kapal menggunakan pencahayaan yang digunakan untuk memancing populasi ikan maupun operasional lain di kapal saat malam. Terakhir, pencitraan optis yang disebutkan memberi 'bukti' visual terbaik aktivitas dan jenis kapal.
“Semua ini bisa dilakukan berkat kemajuan teknologi satelit dan berlimpahnya pencitraan gambar frekuensi tinggi dan resolusi tinggi yang bahkan belum tersedia beberapa tahun lalu," kata David Kroodsma, Direkrut Riset dan Inovasi di Global Fishing Watch.