Twitter dan Facebook Tutup Sejumlah Akun Buzzer di Pilpres Amerika
Reporter
Terjemahan
Editor
Zacharias Wuragil
Rabu, 4 November 2020 11:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Twitter dan Facebook pada Selasa 3 November 2020, waktu Amerika, membekukan sejumlah akun media berita baru--dan paling banyak cenderung berafiliasi politik kanan. Keduanya menganggap unggahan informasi dari akun-akun itu mengenai pemungutan suara di tengah panasnya Pemilihan Presiden AS melanggar kebijakan yang ditetapkan di platformnya.
Twitter mengatakan kebijakan yang dilanggar adalah tentang 'koordinasi' karena akun-akun itu memposting konten yang identik sementara mereka terlihat independen satu sama lain. Akun-akun itu dicurigai saling terkait dalam perilaku otomatisasi yang rahasia atau yang di tanah air populer dengan sebutan pendengung (buzzer).
Satu di antara pemilik yang akunnya ditutup itu adalah SVNewsAlerts, pemilik lebih dari 78.000 follower. Jumlah pengikut itu bertambah lebih dari 10.000 dalam seminggu sebelumnya.
Akun itu berulang kali memperingatkan akan terjadinya kerusuhan terkait pilpres dan menekankan isu-isu tentang tingkat kepercayaan dan keamanan terhadap proses pemilihan. Akun secara spesifik mengungkap klaim-klaim kecurangan oleh Partai Demokrat dan menyerukan perhatian kepada pidato-pidato dan kampanye calon inkumben Donald Trump yang asal Partai Republik.
Faktanya, Twitter menyebutkan, sedikit saja gangguan besar yang dilaporkan dari tempat-tempat pemungutan suara. Kelompok-kelompok masyarakat sipil dan petugas keamanan pun telah bersiaga untuk mengantiisipasi gangguan terhadap pemberi suara.
Akun lain yang dibekukan Twitter termasuk milik FJNewsReporter, Crisis_Intel, dan Faytuks. Beberapa akun itu pernah didapati merekomendasikan akun-akun yang lain kepada para pembacanya.
Baca juga:
Trump Sebut Sudah Kebal dan Tak Tulari Covid-19, Twitter: Sesat
Facebook melakukan yang sama terhadap beberapa akun di balik situs berita berbasis di Amerika Serikat yang menyebut dirinya SV News and FJ News. Tuduhannya, perilaku yang tidak autentik dari situs yang memiliki lebih dari 20.000 follower tersebut.
<!--more-->
Beberapa akun yang di-suspend itu diketahui dipantau media di Rusia--negara yang pernah dituding 'bermain' di media sosial saat pilpres empat tahun lalu yang mengantar Trump jadi presiden. Unggahan dari SVNewsAlerts maupun Faytuks, yang hanya memiliki 11.000 pengikut di media sosial itu, teramati peneliti Chris Scot dan dikonfirmasi Reuters, selalu mendapat penekanan di Sputnik--media yang dikontrol Kremlin.
Meski sudah ada tindakan di platform media sosial, laporan-laporan palsu atau tak sesuai fakta mengenai kecurangan dan penundaan voting berseliweran sepanjang hari. Beberapa mendapat penguatan dari akun-akun tokoh Partai Republik dan publikasi media online.
FBI dan Kejaksaan Agung New York juga mengatakan sedang menyelidiki ujaran-ujaran dari bot misterius yang menyerukan orang-orang untuk tinggal di rumah saja. Seruan viral di negara-negara bagian yang ketat persaingan antara Trump dan pesaingnya, Joe Biden.
Alex Stamos, eks kepala bidang teknologi di Facebook dan kini direktur di Stanford Internet Observatory, mengatakan ada upaya terkoordinasi untuk secara sengaja membesar-besarkan beberapa problem. Menurut pendukung gerakan Election Integrity Partnership ini, proses demokrasi memang tak mungkin mulus seratus persen.
Contoh yang dimaksud Stamos adalah bagaimana video dibagikan di antara para pemilih konservatif yang menunjukkan seorang pengawas dari kubu Trump yang ditolak di sebuah tempat pemungutan suara. Video yang di antaranya disebarluaskan oleh putra Trump itu telah ditonton 2,5 juta kali di Twitter.
Baca juga:
5 Pertanyaan Besar dari Pengobatan Covid-19 Presiden Trump
Otoritas di Philadelphia telah menginvestigasi dan menyimpulkan pria itu telah keliru dilarang mendekat menggunakan undang-undang yang telah kedaluarsa. Pria itu belakangan diizinkan untuk memasuki tempat pemungutan suara itu.
REUTERS