Sebab Tanah Bergerak di Kebumen yang Telan Korban Jiwa
Reporter
Antara
Editor
Zacharias Wuragil
Jumat, 19 Februari 2021 23:28 WIB
TEMPO.CO, Kebumen - Tanah bergerak di Desa Kalijering, Kecamatan Padureso, pada 9 Februari 2021, menggoyahkan, menyeret lalu menimbun enam rumah dan menewaskan tiga orang. Peristiwa di lereng timur sebuah bukit di tapal batas Kabupaten Kebumen dengan Kabupaten Purworejo itu dicatat sebagai bencana tanah bergerak terburuk dalam lima tahun terakhir di daerah itu.
Si pencatat adalah peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang juga Koordinator Riset Komunitas Tanggap Bencana Kebumen, Chusni Ansori. "Terparah dalam lima tahun terakhir setelah bencana gerakan tanah Sampang 2016 di Kecamatan Sempor," katanya di Kebumen, Kamis 18 Februari 2021.
Baca juga:
LIPI Kaji Mitigasi Tanah Longsor di Kebumen, Ini 6 Rekomendasinya
Bukit di Desa Kalijering ditunjukkan Chusni dalam peta prakiraan tanah bergerak Kabupaten Kebumen yang dikeluarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Untuk Februari 2021, bukit di Desa Kalijering tercakup ke dalam zona potensi tinggi tanah bergerak.
Chusni menerangkan, terdapat indikasi jejak-jejak berbagai tanah bergerak lama di sekitar lokasi kejadian yang terbaru berdasarkan analisis digital elevation model (DEM). Kemungkinan, dia menyebutkan, "Tanah bergerak Kalijering adalah gerakan tanah lama yang aktif kembali (tereaktivasi)."
Ia juga menyampaikan kalau bukit yang sama juga pernah mengalami tanah bergerak pada 27 Oktober 2020 dengan skala lebih kecil. Berdasarkan hitungan dibantu citra dari satelit, luas tanah bergerak kala itu sekitar 7.000 meter persegi.
"Dalam pemeriksaan PVMBG, gerakan tanah saat itu menyebabkan timbulnya retakan-retakan tanah dengan lebar lima hingga 20 sentimeter sepanjang 10 hingga 30 meter yang terletak di sub-area atas," katanya.
Chusni menuturkan, pada 9 Februari lalu, tanah bergerak Kalijering dipicu hujan berintensitas tinggi selama dua hari berturut–turut. Secara umum, dia menjelaskan, untuk wilayah Indonesia, curah hujan berintensitas lebih dari 70 hingga 80 mm yang terjadi dua hari berturut–turut merupakan penyebab bencana hidrometeorologi seperti tanah bergerak.
Khusus untuk Jawa Tengah, terdapat hubungan antara intensitas hujan bulanan dengan tanah bergerak, di mana saat bulan–bulan dengan intensitas hujan yang tinggi (November–Maret) maka tanah bergerak pun tinggi.
Ia menjelaskan hujan berintensitas tinggi menyebabkan masuknya air ke dalam lereng melalui retakan-retakan yang telah terbentuk sebelumnya. Drainase yang buruk membuat air tidak mudah keluar di kaki lereng sehingga menjadi jenuh di dalam lereng dan membuat bobot lereng bertambah.
Pada saat yang sama air melumasi bidang kontak antara tanah pucuk dengan batuan dasar, menciptakan bidang gelincir yang mengurangi koefisien gesekan antarbatuan. "Saat beban lereng telah melampaui gaya gesek antara tanah pucuk dan batuan dasar, maka terjadi gerakan tanah," katanya.
Riset Komunitas Tanggap Bencana Kebumen merekomendasi dalam jangka pendek untuk mengevakuasi penduduk yang semula tinggal di sebelah utara dan selatan dari area tanah bergerak. Dia mencemaskan keselamatan para penduduk mengingat masih ditemukan retakan–retakan tanah di sekitar subarea atas yang berpotensi menjadi tanah bergerak berikutnya.
Selain itu, katanya, menstabilkan lereng. Caranya, menimbun retakan–retakan yang ada dengan lempung dan atau ditutupi terpal untuk mengurangi masuknya air hujan ke dalam lereng. Lalu memasang pipa horizontal, hingga menembus lereng bawah guna mengurangi tingkat kejenuhan air dalam lereng sekaligus memperbaiki drainase.
Baca juga:
Tim LIPI Temukan Bukti Penting Sebab Jalan Cipali Tol Ambles
Selain itu, menciptakan sistem peringatan dini sederhana bencana tanah bergerak, dengan jalan mengukur waktu terjadinya hujan deras dengan jam oleh penanggung jawab yang disepakati. Apabila hujan deras terjadi selama minimal dua jam, misalnya, warga yang tinggal di bagian bawah lereng harus segera dievakuasi dengan membunyikan kentongan/sumber suara lainnya yang disepakati.