Lonjakan Covid-19 di Sejumlah Daerah, Dua Ahli Menilai Berbeda Capaian Vaksinasi
Reporter
Moh Khory Alfarizi
Editor
Zacharias Wuragil
Senin, 7 Juni 2021 16:23 WIB
TEMPO.CO, Jakarta- Beberapa wilayah di Indonesia dilaporkan mengalami lonjakan kasus Covid-19, salah satunya di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Juru bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito menyebut kenaikan kasus positif Covid-19 di wilayah tersebut meningkat lebih dari 30 kali dalam sepekan.
Selain di Kabupaten Kudus, wilayah lain di Jawa Tengah yang mengalami lonjakan infeksi Covid-19 adalah Kota Semarang, Demak, Kendal. Kemudian Kabupaten Tegal, Karanganyar, Wonogiri, Purbalingga, Pati, Grobogan, dan Jepara.
Guru besar biologi molekuler dari Universitas Airlangga (Unair) Chairul Anwar Nidom menjelaskan beberapa kemungkinan penyebab melonjaknya kasus infeksi yang disebabkan virus SARS-CoV-2 itu. “Varian baru, tapi belum tahu apakah dominasi dari varian dari luar negeri atau ada varian dalam negeri yang belum terungkap atau baru,” ujar dia saat dihubungi, Senin, 7 Juni 2021.
Yang lebih jelas, menurutnya adalah longgarnya pelaksanaan protokol kesehatan yang disebabkan karena jenuhnya masyarakat dalam menghadapi pandemi. Juga perihal tidak jelasnya kebijakan pemerintah yang saling tumpang tindih serta penggunaan vaksin—yang awalnya dihiperbolakan bahwa vaksin suatu pengendalian yang mujarab untuk pandemi, yang menyebabkan masyarakat abai karena merasa sudah vaksinasi.
Nidom juga mengkritik program vaksinasi yang ditujukan untuk memgejar herd immunity (jumlah suntikan), tanpa memperhatikan kualitas kekebalan yang ditimbulkan. “Anehnya, Kemenkes malah mengimbau masyarakat tidak perlu menguji antibodi vaksinasi secara mandiri.”
Pimpinan dari laboratorium Profesor Nidom Foundation itu juga menilai vaksinasi saat ini sudah kurang efektif mengendalikan virus Covid-19. Alasannya, kecepatan munculnya varian-varian baru. Para peneliti international pun disebutnya mulai memperhatikan adanya faktor antibody dependent enhanchement (ADE).
Tidak ada cara lain, menurut Nidom, masyarakat harus kembali memperketat protokol kesehatan #pakaimasker yang standar, juga #jagajarak dan rajin #cucitangan. Dia juga meminta agar mulai memperhatikan komorbid—penyakit penyerta—yang dimiliki masing-masing, dan memperkuat sistem pertahanan tubuh dengan rempah empon-empon.
“Sebaiknya masyarakat juga uji antibodi dan protektivitas hasil vaksinasi secara mandiri. Agar tahu kualitas vaksunasi yang diterima,” katanya menyarankan.
Untuk pemerintah, Nidom meminta agar memperkuat kembali 3T (testing, tracing, dan treating), dan memberdayakan semua laboratorium dalam mengawal pengendalian pandemi. Selain itu, dia juga menyarankan agar para pejabat kesehatan dan kepala daerah banyak membaca literatur dan sigap mengambil langkah.
Dimulai dari pejabat dan kepala daerahnya, dia mengatakan, “Masyarakat menjadi paham dengan varian virus.”
Nidom juga menyarankan agar pemerintah jeda program vaksinasi untuk melakukan evaluasi antibodi yang dihasilkan dari progam vaksinasi menggunakan vaksin-vaksin selama ini. “Kalau hasilnya terlalu kecil atau sedikit, ganti dengan platform vaksin yang sesuai,” tutur Nidom.
Epidemiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Tonang Dwi Ardyanto, berpendapat lonjakan bahkan ledakan kasus di beberapa daerah tempat justru harus mendorong program vaksinasi Covid-19 lebih kuat. Menurutnya, vaksinasi di Indonesia masih belum seberapa dibandingkan total penduduk.
Untuk itu, dosen tetap ilmu patologi klinik di UNS itu menyarankan, sebaiknya Kementerian Kesehatan menampilkan data-data secara rinci, agar meminimalkan salah paham. Selama ini, yang ditampilkan baru data target tahapan, bukan target program atau total penduduk.
“Dengan menjelaskan rincian data, akan jelas tergambar bahwa faktor vaksinasi belum kuat pengaruhnya dalam penanggulangan Covid-19. Sebaliknya, kita juga bisa belajar ke kondisi India,” tutur Tonang.